REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Ahli hukum tata negara Universitas Narotama Surabaya Dr Rusdianto Sesung menilai, penggunaan hak angket DPR terhadap KPK tidak sah karena salah alamat (error in subjecto), sehingga keputusan itu batal demi hukum (nieteg van rechtswege).
"Suatu tindakan yang batal demi hukum bermakna bahwa tindakan atau keputusan tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi," kata ahli hukum yang juga staf ahli DPRD Jawa Timur itu saat dihubungi Antara dari Denpasar, Kamis (4/5).
Ia mengemukakan hal itu menanggapi protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III DPR RI kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek KTP-el di Pengadilan Tipikor Jakarta, sehingga mendorong munculnya hak angket terhadap KPK oleh DPR RI.
"Keputusan yang batal demi hukum tidak memiliki dampak hukum apa pun, sehingga KPK harus mengabaikan dan tidak perlu menanggapi penggunaan hak angket tersebut," kata doktor alumnus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.
Menurut dia, ketentuan mengenai subjek yang dapat dituju dalam penggunaan hak angket secara eksplisit telah dijelaskan dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) beserta penjelasannya.
Dalam Pasal 73 ayat (3) UU MD3 disebutkan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, dalam Penjelasan Pasal 79 ayat (3) dinyatakan secara tegas mengenai batasan istilah pemerintah, yakni "pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh presiden, wakil presiden, menteri negara, panglima TNI, kapolri, jaksa agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian".
"Berdasarkan Penjelasan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 di atas maka subjek yang dapat dijadikan pihak terselidik dalam penggunaan hak anget hanyalah presiden, wapres, menteri, panglima TNI, kapolri, jaksa agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian," katanya.
Dengan demikian, kata dia, tidak ada perbedaan tafsir mengenai pihak yang dapat dilidik melalui hak angket karena secara tegas telah dibatasi oleh UU MD3. Selain itu, secara teoritis dan praktek ketatanegaraan, penggunaan hak angket di berbagai negara oleh parlemen selalu ditujukan kepada kekuasaan pemerintahan (kekuasaan eksekutif) baik dalam sistem parlementer maupun presidensil.
"Selain error in subjecto, substansi atau alasan penggunaan hak angket oleh DPR juga sangat abstrak dan tidak spesifik. Dalam praktek penggunaan hak angket oleh parlemen di berbagai negara, alasan penggunaan angket harus spesifik karena adanya kebijakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah," katanya.
Demikian pula halnya mengenai prosedur penggunaan hak angket yang mengandung cacat prosedur. Hak angket DPR terhadap KPK cacat prosedur karena proses pengambilan keputusan hak angket melanggar Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, khususnya mengenai tata cara pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang seharusnya dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat atau suara terbanyak (voting).
"Karena itu, keputusan penggunaan hak angket oleh DPR terhadap KPK itu cacat hukum yang sempurna, yakni cacat prosedur, cacat substansi, dan cacat kewenangan, sehingga keputusan penggunaan hak angket tersebut haruslah diabaikan karena tidak pernah dianggap ada oleh hukum," kata Rusdianto.