REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Komisioner Komisi Kejaksaan RI, Kaspudin Nor menyatakan, semestinya jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menuntut mantan bupati Belitung Timur itu dengan hukuman maksimal. Kalau soal berapa hukumannya, nanti itu masalah hakim.
"Mestinya kejaksaan profesional. Karena mereka ada ruang yang bisa dijadikan dasar untuk mengambil tuntutan maksimal. Ya ambil aja maksimal. Toh itu ranah hakim yg nanti mengambil kebijakan. Apakah nanti itu dipertimbangkan pasal 156-nya atau 156a-nya, itu ranah hakim," ujar dia usai menghadiri diskusi "Ahok, Jaksa dan Palu Hakim," di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (29/4).
Dalam proses pengadilan kasus Ahok tersebut, tutur Kaspudin, jaksa memang sudah tidak mungkin untuk diganti. Sebab, proses penuntutan pun sudah selesai. Namun, bisa saja nanti jika perkara ini ada upaya hukum lagi, jaksa tersebut bisa diganti. "Bisa diganti, tapi kalau perkara ini ada upaya hukum lagi. Tapi repotnya nanti, tuntutan yang seperti itu tidak bisa lagi bertambah, kecuali hakim (yang menambah hukuman). Jadi satu-satunya jalan adalah hakim yang menengahi keadilan ini. Jadi jaksa sudah tak bisa lagi. Itu persoalannya," kata dia.
Kaspudin pun meminta kepada pihak kejaksaan untuk profesional dalam kasus Ahok ini. Hal ini akan membuat publik percaya terhadap institusi kejaksaan. Namun, jika kejaksaan memperlihat ketidaprofesionalan, maka akan timbul ketidakpercayaan dari publik.
Menurut Kaspudin, tuntutan jaksa tersebut janggal karena pengenaan pasalnya berbeda dengan kasus-kasus penodaan agama sebelumnya. Dalam konteks kasus Ahok ini, ada toleransi yang diberikan jaksa melalui tuntutan tersebut.
"Ada kejanggalan dalam hal penahanan. Kenapa, karena ada toleransi karena ini tidak seperti kasus-kasus yang lain yang sebelumnya," kata dia.
Kaspudin juga meragukan profesionalisme jaksa dalam mempertimbangkan seluruh alat bukti yang ada. Sebab, Ahok dikenakan pasal 156 KUHP sebagai salah satu dari pasal alternatif lainnya, yakni pasal 156a KUHP. "Kenapa alat bukti yang mendukung pasal penodaan agama, kemudian malah kena pasal 156. Nah ini juga satu kejanggalan yang harus diperiksa. Ada apa?" kata dia.