Selasa 11 Apr 2017 14:34 WIB

Video Kampanye, Klaim Timses Ahok Dinilai Bertolak Belakang dengan Realitas Sosial

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Ilham
Salah satu adegan dalam video kampanye yang diunggah akun twitter Ahok Basuki T Purnama @basuki_btp
Foto: Screenshot video kampanye yang diambil dari akun twitter Ahok Ba
Salah satu adegan dalam video kampanye yang diunggah akun twitter Ahok Basuki T Purnama @basuki_btp

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono mengungkapkan pendapat tentang video kampanye pasangan calon gubernur Ahok-Djarot yang diduga mengandung unsur SARA. Zaenal menganggap pembuat video secara sengaja menampilkan para pelaku yang menggunakan pakaian dan atribut-atribut keagamaan yang diidentikkan dengan kelompok Muslim.

"Karena ini video kampanye, maka hampir pasti isinya disetujui oleh timses dan pasangan kandidat. Oleh karenanya, mereka harus menjelaskan ke publik secara resmi, apa pesan yang ingin disampaikan dari video 'provokatif' tersebut. Sejauh ini pendukung Ahok tidak ada yang meminta maaf, namun justru menganggap video tersebut sebagai 'realitas di masyarakat'," kata Zaenal, Selasa (11/4).

Penilaian sebagai 'realitas di masyarakat', menurut Zaenal, bertolak belakang dengan realitas yang terjadi di masyarakat, khususnya umat Islam di Jakarta. Dia mengatakan, aksi 411 dan 212 yang diklaim sebagai aksi terbesar dalam sejarah republik Indonesia, dianggap sebagai aksi damai oleh pihak keamanan.

"Tak ada korban, tak ada caci maki, tak ada diskriminasi. Bahkan, pasangan agama lain yang tengah melakukan pernikahan, dikawal oleh umat Islam. Maka video keberagaman versi Ahok terkesan menegasikan 'realitas di masyarakat' yang mereka klaim. Jelas video ini jauh dari realitas masyarakat Jakarta itu sendiri," kata dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia itu.

Dia menambahkan, menuduh umat Islam sebagai pembuat onar sama sekali tidak berdasar, dan dapat disebut sebagai halusinasi. Menurut dia, pembuat video dapat diduga kurang melakukan riset, atau punya tujuan tertentu.

Justru sebaliknya, menurut dia, jika dikaitkan dengan perspektif yang lebih luas, umat Islam Indonesia dapat dikategorikan sebagai benteng keberagaman sekaligus mengawal konsolidasi demokrasi. Kegiatan rutin Bali Democracy Forum (BDF) sejak 2008 adalah bukti Islam telah mendapat pengakuan dari dunia hingga saat ini.

"Bali Democracy Forum (BDF) pesertanya setiap tahun terus meningkat. Bahkan, juga melibatkan pemimpin-pemimpin negara, dan mereka mengakui, BDF turut memengaruhi pembangunan demokrasi di negara-negara berkembang," katanya.

Yang harus dicatat, kata dia, adalah keadaan Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Maka demokrasi bisa berkembang (termasuk keberagaman terjaga) salah satunya karena dukungan umat Islam terhadap nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement