REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan penundaan sidang tuntutan terdakwa kasus dugaan penistaan agama sekaligus calon gubernur DKI Jakarta nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) oleh polisi dinilai bisa memunculkan spekulasi dan pertanyaan. Apalagi, penundaan itu sampai selesainya pemungutan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta pada 19 April 2017 mendatang.
"Surat permintaan penundaan sidang ini menimbulkan banyak spekulasi dan pertanyaan besar," kata Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade, melalui pesan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Jumat (7/4).
Menurut Andre, seharusnya, jika jika ada permintaan penundaan sidang semestinya datang dari jaksa penuntut umum atau tim pengacara Ahok, dan bukan dari Polda Metro Jaya. Menurut Andre, sikap kepolisian itu merupakan indikator yang tidak baik bagi profesionalisme dan independensi kepolisian.
"Semestinya aparat kepolisian menempatkan diri dengan bertindak netral dalam Pilkada DKI," kata Andre.
Andre lantas menyinggung perlakuan Polda Metro Jaya terhadap calon wakil gubernur Sandiaga Uno. Sandi pernah tidak menghadiri pemeriksaan dan polisi menyatakan akan memanggil ulang dan memanggil paksa.
"Sikap ini berbeda dengan perlakuan ke Sandi. Di saat Sandi tidak hadir, polisi menyatakan akan memanggil ulang dan memanggil paksa kalau tidak datang. Publik bisa menilai sendiri sikap polisi terkait hal ini," ucap Andre.
Sementara, Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol M Iriawan membantah permintaan penundaan itu sebagai bentuk intervensi. Melainkan, hanya sebuah saran untuk pengadilan yang menangani perkara Ahok.
Menurut Iriawan, Kepolisian berhak memberikan saran kepada pihak mana saja. Apa lagi saran itu menyangkut keamanan Ibu Kota jelang hari pemungutan suara putaran kedua di Pilkada DKI 2017.