Kamis 06 Apr 2017 19:11 WIB

Penundaan Pembacaan Tuntutan Kasus Ahok Ciptakan Ketidakadilan

Hakim Ketua Dwiarso Budi Santiarto (tengah) memimpin persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Hakim Ketua Dwiarso Budi Santiarto (tengah) memimpin persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar hukum pidana UII Yogyakarta, Mudzakkir, mengatakan bahwa menjadi sebuah pertanyaan besar ketika pihak kepolisian mengirimkan surat permintaan penundaan waktu sidang pembacaan tuntutan jaksa atas kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Apalagi, mengaitkan kasus itu sebagai imbangan atas penundaan pemeriksaan yang akan dilakukan kepada Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

"Ingat ya dulu tempat pengadilan kasus Ahok itu dipindah juga atas permintaan polisi terkait soal keamanan. Nah, sekarang terjadi lagi. Biasanya di kasus hukum yang lain, yang dijaga ketat adalah persidangan pembacaan putusan. Saat itu biasanya akan terjadi keributan bila isi putusannya oleh salah satu pihak dianggap tidak adil. Jadi kalau sekadar sidang pembacaan tuntutan maka lazimnya tak jadi masalah,’’ kata Mudzakkir, ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (6/4) malam.

Menurut aturan hukum, polisi jelas tidak bisa menentukan waktu dan tempat persidangan. Sebab, pihak yang menentukan itu adalah majelis hakim karena merekalah yang akan bertanggung jawab.

"Jadi menurut saya rasa surat permintaan penundaan waktu pembacaan tuntuan sidang itu menciptakan suasana yang tidak adil. Sebab, polisi dalam hal ini terkesan mencampuri urusan persidangan. Lagi pula jangan sampai mengulang kembali peristiwa sidang pembacaan putusan kasus Jesica itu. Saat itu jumlah pengunjung sidang teramat sedikit bila dibandingkan jumlah polisi yang menjaga tempat sidang. Tindakan polisi seperti ini saya kira bisa memengaruhi hakim," katanya.

Menurut Mudzakkir, pada waktu belakangan ini terutama ketika berlangsung proses Pilkada DKI Jakarta, memang ada beberapa pertanyaan kepada pihak polisi terkait pemeriksaan terhadap kandidat para calon gubernur. Sebelumnya, ada kasus pemeriksaan terhadap Sylviana Murni yang saat itu maju sebagai kandidat wakil gubernur berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono.

"Saat itu kan gencar sekali Ibu Sylviana diperiksa di kepolisian. Tak hanya sekali, bahkan bolak-balik hingga menjelang pencoblosan. Anehnya, setelah putaran pilkada pertama DKI usai, dan Ibu Sylviana bersama pasangannya tersingkir, sampai kini kok tidak ada lagi pemeriksaan kepadanya. Apa dulu kasusnya tidak serius? Dulu begitu sering diperiksa namun setelah pilkada sampai sekarang kok tidak ada lagi. Ini ada apa?’’ ujar Mudzakkir.

Menurut dia, ada dua pemikiran yang bisa ditarik dari surat permintaan penundaan waktu sidang pembacaan tuntutan dalam kasus penistaan agama dengan terdakwa Ahok tersebut. Pertama, permintaan itu bisa memengaruhi posisi pengadilan kasus Ahok.

"Kedua, memengaruhi peristiwa pemeriksaan terhadap Anies Baswedan dan Sandiaga Uno seolah-olah pemeriksaannya itu tidak dilakukan karena sebagai imbangan dari tidak dibacakannya tuntutan jaksa dalam sidang kasus Ahok tersebut. Jadi saya ingin mengimbau polisi agar bisa menjalankan tugas sebagai penegak hukum dengan tepat sesuai amanat hukum dan konstitusi,’’ katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement