REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD asal Jakarta Fahira Idris menganggap berulangnya kampanye hitam yang memfitnah Anies-Sandi merupakan bentuk pelecehan terhadap hukum dan aparat penegak hukum. Sebab, dengan terulangnya aksi tersebut, menandakan para pelakunya tidak peduli tindakannya bisa membuat mereka berurusan dengan kepolisian.
“Kalau sudah berulang-ulang dan begitu leluasa (melakukan kampanye hitam), artinya mereka menganggap diri mereka sudah di atas hukum dan yakin tidak akan tertangkap. Ini bentuk pelecehan,” kata Fahira dalam siaran pers yang diterima Republika, Rabu (5/4).
Selain itu, terus berulangnya praktik kampanye hitam tersebut menurutnya bisa jadi karena pelanggaran-pelanggaran sebelumnya tidak diusut tuntas. Sehingga, para pelaku semakin merajalela karena tidak ada efek jera.
Bagi Fahira, selain KPU, Bawaslu, dan DKPP, Kepolisian adalah salah satu pilar utama untuk menjaga demokrasi di Indonesia tetap berada di jalurnya. Demokrasi tanpa penegakan hukum menurutnya tidak akan ada gunanya, karena pasti melahirkan keresahan dan kekacuan di dalam masyarakat.
“Mudah-mudahan saya keliru, tetapi amatan saya polisi kurang greget untuk mengungkap pidana pemilu ini, tidak seperti penanganan kasus lain, misalnya dugaan makar," terang Fahira.
Namun, begitu, Fahira optimistis, polii bisa mengungkap otak kampanye hitam tersebut sebelum hari pemungutan suara. "Karena semua bukti fisik sudah terpampang nyata,” tambah Fahira.
Bukti fisik yang dimaksud Fahira adalah, ditemukannya dua kontainer berisi jutaan brosur kampanye hitam yang memfitnah Anies-Sandi di sebuah rumah di Jakarta Barat. Belum lagi, adanya pemasangan spanduk-spanduk fitnah terhadap Anies-Sandi di ratusan titik di seluruh wilayah Jakarta.