REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Angka kekerasan terhadap perempuan, baik oleh pasangannya atau non-pasangan, ternyata masih cukup tinggi terjadi di Indonesia. Tak hanya kekerasan secara fisik dan emosional, kekerasan yang dialami perempuan Indonesia juga berupa kekerasan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sekitar satu dari empat (24,5 persen) perempuan yang pernah atau sedang menikah mengalami kekerasan ekonomi dari pasangannya selama hidupnya.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, kekerasan ekonomi yang dimaksud bervariasi mulai dari tidak diperbolehkan bekerja oleh pasangan, pasangan yang mengambil penghasilan atau tabungan tanpa persetujuan pihak istri, atau pasangan yang menolak memberikan uang belanja padahal diketahui memiliki uang.
Bila dirinci, maka ada 19,5 persen perempuan yang pernah mengalami kekerasan ekonomi berupa larangan bekerja oleh pasangan. Sementara itu, tercatat ada 3,6 persen perempuan yang tabungannya diambil oleh pasangan tanpa persetujuan. Selain itu juga ada 5,1 persen perempuan yang mengalami penolakan dari suami atas uang belanja.
Suhariyanto melanjutkan, satu dari lima perempuan atau sebesar 20,5 persen pernah mengalami kekerasan emosional atau psikis dari pasangannya selama hidupnya. Kemudian kekerasan seksual pernah dialami oleh 10,6 persen dan kekerasan fisik 12,3 persen.
"Dari situ kita dapat melihat bahwa kekrasan ekonomi jauh lebih dominan dibandingkan dengan kekerasan emosional dan seksual atau fisik. Kekerasan ekonomi itu banyak yang bentuknya tidak boleh kerja oleh pasangan yang sebesar 19,5 persen selama hidupnya dan 6 persen dialami dalam 12 bulan terakhir," jelas Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Kamis (30/3).
BPS menyebutkan, Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dilakukan kepada responden yang secara spesifik berusia 15 hingga 64 tahun, dengan tingkat respons survei 97,3 persen atau sebanyak 8.757 rumah tangga. Sementara jumlah rumah tangga yang nonrespons sebanyak 243 rumah tangga.
"Dari data WHO prevalensi kekerasan fisik atau kekerasan seksual di Indonesia tahun 2010 paling tinggi di Asia Tenggara sebesar 37,7 persen, kedua Eastern Mediteranian 37,0 persen, dan ketiga adalah Afrika 36,6 persen. Lalu kalau per negara, Indonesia memang lebih rendah dibanding beberapa negara lain yakni di 18 persen, tapi tetap saja ini harus diperhatikan," kata Suhariyanto.
Ia menyebutkan, dari hasil pendataan menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan atau seksual oleh pasangan juga selain pasangan selama hidupnya, serta 1 dari 10 perempuan di rentang usia tersebut mengalaminya dalam 12 bulan terakhir. Lalu kekerasan fisik dan atau seksual cenderung lebih tinggi dialami perempuan yang tinggal di daerah perkotaan sekitar 36,3 persen, sedangkan di daerah perdesaan 29,8 persen.
Kekerasan tersebut, lanjutnya, lebih banyak dialami dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas sebesar 39,4 persen, dan status pekerjaan untuk perempuan yang tidak bekerja sebesar 35,1 persen. Selain jenis kekerasan fisik dan seksual, perempuan yang pernah atau sedang menikah juga dua kekerasan lainnya yaitu kekerasan emosional (psikis) dan kekerasan ekonomi yang dilakukan pasangan atau suami.
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPA Vennetia Danes mengatakan bahwa hasil survei secara nasional ini diharapkan tidak hanya menjadi bahan yang dilihat, didengar, dan dicatat saja, namun diharapkan benar-benar menjadi acuan untuk membuat kebijakan untuk menghilangkan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Kalau perempuan itu terlepas dari kekerasan, maka akan meningkatkan perekonomian atau PDB (produk domestik bruto) suatu negara. Karena dengan pemberdayaan perempuan, maka mereka menjadi percaya diri sehingga tidak bergantung pada suaminya dan punya income sendiri, serta bisa lebih produktif lagi dan menggerakkan perekonomian," kata Vennetia.