Sabtu 18 Mar 2017 04:43 WIB

Pertuni Tingkatkan Akses Penyandang Tunanetra ke Perguruan Tinggi

Rep: Christiyaningsih/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah penyandang difabel (ilustrasi)
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Sejumlah penyandang difabel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) terus berupaya meningkatkan akses bagi penyandang tunanetra agar bisa mengenyam bangku perguruan tinggi. Berdasarkan catatan Pertuni, dalam satu dekade terakhir jumlah penyandang tunanetra yang bisa menempuh pendidikan tinggi meningkat 30 persen. 

Ketua Umum Pertuni,Aria Indrawati menerangkan, pada 2015 penyandang tunanetra yang bisa kuliah sebanyak 250 orang. "Data terakhir tahun lalu angkanya sudah meningkat 30 persen menjadi sekitar 400 orang lebih," ungkapnya ketika ditemui Republika.co.id belum lama ini. 

Peningkatan ini tak lepas dari langkah Pertuni yang menggulirkan program University Preparation Training sejak 2006. Program ini menyasar penyandang tunanetra yang ada di bangku SMA/SMK. "Kita beri wawasan kepada mereka bahwa banyak jurusan yang bisa ditempuh di perguruan tinggi," imbuh wanita yang juga konselor di Yayasan Mitra Netra ini. 

Penyandang tunanetra mayoritas mengambil jurusan pendidikan luar biasa di perguruan tinggi. Padahal, jurusan lain seperti hukum dan sastra juga memungkinkan untuk dipilih. Aria, yang menderita gangguan mata low vision, telah membuktikannya dengan lulus dari fakultas hukum sebuah universitas swasta di Semarang.

Selain bimbingan, dukungan dari keluarga dan teman-teman juga sangat berpengaruh terhadap antusiasme tunanetra melanjutkan ke pendidikan tinggi. Hal lain yang tak kalah penting adalah dukungan pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan inklusif. 

Saat ini di Indonesia terdapat 24 perguruan tinggi yang menerima mahasiswa penyandang difabel termasuk tunanetra. Namun itu saja belum cukup. Jumlah perguruan tinggi perlu ditambah demikian pula dengan sekolah menengah inklusi. 

Menurutnya tunanetra punya ketakutan tersendiri jika ingin melanjutkan kuliah. "Mereka rata-rata lulusan SLB yang materi pelajarannya berbeda dengan SMA/SMK umum, makanya kesulitan untuk bisa mencapai passing grade masuk perguruan tinggi seperti lulusan sekolah reguler," imbuhnya. 

Pemerintah Indonesia dinilai belum membangun sistem pendidikan inklusi yang mendukung proses pembelajaran kaum difabel. "Di Jakarta ada peraturan gubernur yang mengharuskan semua sekolah menerima difabel tapi infrastruktur seperti buku khusus difabel masih sulit dijangkau," ungkap Aria. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement