Rabu 15 Mar 2017 17:20 WIB

Penggugat Yakin PTUN Bakal Cabut Izin Reklamasi Tiga Pulau

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Bilal Ramadhan
Foto udara proyek reklamasi Teluk Jakarta, Selasa (15/11).
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Foto udara proyek reklamasi Teluk Jakarta, Selasa (15/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komunitas nelayan dan sejumlah aktivis pemerhati Teluk Jakarta merasa optimistis gugatan mereka terkait izin reklamasi Pulau F, I, dan K bakal dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Menurut jadwal, putusan perkara tersebut akan dibacakan oleh majelis hakim hakim pengadilan setempat, Kamis (16/3) besok.

"Kami sangat optimistis hakim PTUN akan memberikan putusan yang adil bagi nelayan dan ekosistem Teluk Jakarta. Karena selama menjalani persidangan, kami telah mengajukan 109 bukti, lima ahli, dan enam saksi nelayan ke pengadilan," ujar salah satu penggugat, Edo Rakhman, kepada Republika.co.id, Rabu (15/3).

Dia mengatakan, ada beberapa alasan yang membuat dia dan para penggugat lainnya merasa yakin gugatan mereka bakal dikabulkan PTUN Jakarta. Pertama, selama proses persidangan berlangsung, mereka telah membuktikan bahwa izin reklamasi Pulau F, I, dan K yang diterbitkan Gubernur DKI nonaktif Basuki T Purnama (Ahok) memang melanggar aturan hukum.

Menurut Peraturan Presiden (Perpres) No 54 Tahun, kewenangan penerbitan izin reklamasi di kawasan Teluk Jakarta seharusnya berada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), bukan gubernur DKI.

Alasan kedua, Gubernur DKI (Ahok) selaku tergugat dalam perkara ini telah menyalahi prosedur karena membuat kebijakan reklamasi tanpa berlandaskan pada Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Perda RZWP3K). Selain itu, penerbitan izin reklamasi Pulau F, I, dan K tidak didahului dengan izin lokasi, juga tanpa rekomendasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan.

Yang tidak kalah pentingnya, izin reklamasi yang diberikan Ahok kepada para pengembang tiga pulau buatan itu tidak memiliki kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

"Padahal, dokumen-dokumen itu menjadi persyaratan wajib yang harus dipenuhi gubernur DKI sebelum menerbitkan objek sengketa (izin reklamasi Pulau F, I, dan K). Tapi semua persyaratan itu malah diabaikan oleh pihak tergugat (Ahok)," tutur Edo yang saat ini menjabat sebagai manajer kampanye eksekutif nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata menuturkan, penerbitan izin reklamasi Pulau F, I, dan K tidak sekadar menyalahi hukum lingkungan, tetapi juga tanpa melalui proses partisipasi publik dari masyarakat pesisir Jakarta, terutama kaum nelayan.

Dia menilai proyek reklamasi tersebut bukan untuk kepentingan rakyat banyak, melainkan hanya untuk memuluskan syahwat para pengembang properti komersial dan segelintir orang dari kelompok ekonomi atas.

"Terbitnya objek sengketa bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), karena Pemprov DKI mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu, kami yakin putusan PTUN nanti akan berpihak kepada nelayan," ucap Marthin.

Dia menambahkan, pemerintah pusat pada tahun lalu juga telah memutuskan untuk menghentikan sejumlah proyek reklamasi di Teluk Jakarta karena banyaknya pelanggaran yang ditemukan dalam tahap perizinan dan pelaksanaannya.

Menurut Marthin, semua fakta tersebut semakin membuktikan bahwa ada yang tidak beres dengan proyek reklamasi yang bernilai ratusan triliun rupiah itu. Gugatan izin reklamasi Pulau F, I, dan K diajukan sejumlah aktivis dan warga nelayan Jakarta sejak 21 Januari 2016.

Sampai sekarang, proses persidangan perkara tersebut telah memakan waktu lebih dari satu tahun. Menurut jadwal, majelis hakim PTUN Jakarta akan membacakan putusan tentang kasus ini, Kamis (16/3) besok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement