Selasa 14 Mar 2017 23:55 WIB

Kak Seto: Prostitusi Anak di Media Online Termasuk Perdagangan Orang

Rep: Lintar Satria/ Red: Karta Raharja Ucu
Prostitusi anak (ilustrasi)
Foto: Reuters dan sumber lain
Prostitusi anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPA Indonesia) menyatakan prostitusi online anak-anak pada dasarnya merupakan salah satu bentuk utama perdagangan orang. Kejahatan ini dapat direspon dengan Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU Perlindungan Anak serta memakai media online, maka bisa juga tersangkut ke UU ITE dan UU Pornografi.

LPA menegaskan hitam putihnya persoalan sudah terang benderang yakni pasal berlapis terhadap pelaku. "Yang pelik adalah ketika orangtua melakukan pembiaran bahkan aktif mengomersialisasi darah daging mereka sendiri? Jika ya, orangtua tersebut bisa dikenai sanksi pemberatan," kata Seto Mulyadi Ketua Umum LPA Indonesia dalam siaran pers yang Republika.co.id terima, Selasa (14/3).

Kak Seto, sapaan Seto Mulyadi mengatakan, semakin pelik jika terjadi keabsurdan berpikir yang bisa jadi dialami korban anak-anak dan orang tua mereka. Ia mengatakan dalam kasus Emon, pedofil Sukabumi misalnya, sejumlah anak dan orangtua menyebut diri mereka sebagai korban, tapi bukan korban eksploitasi seksual, bukan korban kejahatan seksual, melainkan korban utang-piutang.

Para korban merasa dirugikan Emon karena sang pedofil tidak membayar mereka sesuai kesepakatan. "Jadi, bagi korban dan orangtua mereka, integritas tubuh anak bukan persoalan sama sekali asalkan ada keuntungan finansial yang bisa diperoleh dari pelaku," ucap dia.

Padahal, kata Kak Seto, kasus prostitusi ini bisa beranak pinak menjadi masalah seksualisasi perilaku, kehamilan di luar pernikahan, penyakit menular seksual, putus sekolah, para ibu usia remaja yang tidak siap mengasuh anak. Sangat merisaukan, kata Seto, keabsurdan itu juga telah dialami oleh banyak anak-anak dengan alasan uang pulsa, kosmetik,  karcis bioskop dan sejenisnya. Apabila orang tua berperilaku seperti itu maka di samping dikenakan pidana, kuasa asuh orangtua tersebut juga bisa dicabut.

"Itu dibenarkan oleh UU Perlindungan Anak. UU TPPO juga menyebut adanya restitusi bagi korban," tegas Seto.

(Baca Juga: Polisi Bongkar Terapis Prostitusi Online)

Secara umum, lanjut Seto, seksualitas memang telah mengalami desakralisasi. Seperti sebagaimana yang terdapat di toko-toko kelontong berlisensi memajang kondom di counter depan meja kasir.

"Saya pernah bertanya, kapan dan siapa pembeli kondom tersebut. Kasir menjawab, paling laris adalah pada malam akhir pekan dan pembeli paling banyak adalah anak-anak remaja. Saya berulang kali menegur toko-toko tersebut, tapi tak digubris," kata Seto.

Seto juga mempertanyakan bagaimana dengan kasus prostitusi anak-anak lainnya? Bagaimana kasus tahun lalu, di mana anak-anak yang dilacurkan untuk orang-orang homoseksual di kawasan sekitar Ciawi? Bagaimana proses hukum terhadap pelaku? Bagaimana rehabilitasi bagi korban? Sekali lagi, tambah Seto, Indonesia perlu punya basis data.

Seto mengatakan basis data tentang pelaku harus terbuka untuk publik demi menangkal aksi residivisme. Basis data tentang korban harus tertutup, semata-mata untuk kepentingan rehabilitasi.

"Lantas, apakah dalam kasus prostitusi online anak-anak ini para pelaku akan dikenai sanksi pemberatan seperti kebiri, pemasangan chip, publikasi identitas dan hukuman mati sebagaimana revisi kedua UU Perlindungan Anak?

Sayangnya, aturan teknisnya belum ada," ucap Seto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement