Ahad 26 Feb 2017 07:38 WIB

Heboh 'Aku Mengendalikan Diri' Jadi Momentum Percepatan RUU Buku

Rep: Lintar Satria Zulfikar/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam (kiri) bersama Direktur Operasi Penerbit Tiga Serangkai, Gatot Wahyudi (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan seusai melakukan pertemuan dengan manageman penerbit Tiga Serangkai Grup (Tiga
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam (kiri) bersama Direktur Operasi Penerbit Tiga Serangkai, Gatot Wahyudi (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan seusai melakukan pertemuan dengan manageman penerbit Tiga Serangkai Grup (Tiga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam mengatakan viralnya buku "Aku Mengendalikan Diri" di media sosial seharusnya bisa menjadi momentum yang tepat untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-undang Sistem Perbukuan. RUU ini sudah digagas sejak tahun 2004 yang menjadi Undang-undang Perpustakaan. 

Namun, kata Asrorun, Undang-undang ini baru mendorong sumber-sumber pembelajaran tidak hanya di sekolah tapi juga di masyarakat. Undang-undang ini belum menyentuh  sistem perbukuan secara nasional. 

"Sekarang kami berkomunikasi dengan DPR, kemudian dengan pemerintah gagasan yang muncul 10 tahun yang lalu sudah berproses di DPR, ini menjadi momentum untuk kepentingan percepatan pembahasan RUU Sistem perbukuan nasional itu," katanya, Sabtu (25/2).

Dengan RUU ini, lanjut Asrorun, menjadi jaminan hanya buku berkualitas yang dibaca masyarakat Indonesia. Ia menambahkan jangan sampai buku-buku tentang kekerasan, terorisme, pencabulan memenuhi rak-rak toko buku. 

"Sehingga masyarakat atau orang tua yang awalnya merasa aman anaknya ke toko buku tapi isi toko bukunya tidak aman," katanya. 

Karena itu, lanjut, Asrorun, butuh kemauan dari pemerintah dan DPR selaku legislatif untuk mempercepat pembahasan RUU Sistem Perbukuan Nasional. RUU ini, menurut Asrorun, untuk melindungi anak-anak Indonesia. 

"Senyampang reformasi perundang-undangan yang lain tuntas minus perbukuan," tambahnya. 

Selain konten dan isi buku yang belum diatur, Asrorun juga mengkritik harga buku yang menurutnya seperti hutan rimba. Karena siapa saja dapat menentukan harga buku tanpa harus dikaitkan dengan jumlah halaman. 

"Misalnya buku 100 halaman bisa dihargai Rp 100 ribu, sementara buku 500 halaman dihargai Rp 50 ribu, itu tidak tahu tergantung siapa," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement