Rabu 22 Feb 2017 10:05 WIB
Kebangkitan Umat 7

Mustafa Kamal, Neokomunis, dan Keabsahan Pilkada

Para ilmuwan di era Turki Utsmani meyakini bahwa musik memiliki kekuatan dalam proses alam.
Foto:
Petugas melakukan proses rekapitulasi penghitungan surat suara Pilkada DKI Jakarta tingkat kecamatan di Kantor Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (16/2).

Entah berapa kali UU ditabrak seenaknya. Dari pengajuan calon kapolri yang kontroversi sampai menjadi kepala BIN. Kontroversi Arcandra, penghapusan bahasa Indonesia untuk tenaga kerja asing, dan rentetan kebijakan kontroversial. Menariknya, parlemen tetap saja membiarkan.

Beberapa kali bangsa ini diberi harapan palsu janji interpelasi. Keterpurukan bangsa hingga mengalami krismon berkepanjangan, dibiarkan parlemen. Interpelasi sekadar pemanis di media. Serupa dengan janji: Kalau jadi presiden mudah atasi banjir, September meroket, dan setumpuk janji abal-abal lainnya.

Barangkali, yang ditegaskan Muhammad Syafii “jangan berharap pada pemerintah” perlu ditambah menjadi: jangan berharap pada pemerintah dan parlemen. Sejak bertahun-tahun rakyat dibiarkan berjuang sendiri. Dibiarkan menderita, dibiarkan menyaksikan dagelan-dagelan politik. Sekadar kasus Ahok pun energi bangsa ini dihabiskan sampai tercipta adu domba ke pelbagai daerah.

Bahkan, ketika umat Muslim menuntut keadilan soal penistaan agama, yang terjadi justru diadili. Ulama dikriminalisasi, ormas Islam dibunuh karakternya, penyumbang dana aksi 212 ikut diperiksa. Sebaliknya, penyumbang dana kampanye Jokowi, sumbangan dana perusahaan untuk Teman Ahok, sumbangan dana pembeli di toko berlabel: dibiarkan. Hukum benar-benar menjadi mainan.

Terbaru soal pilkada serentak 2017. Sedikitnya sembilan daerah dipaksakan menggelar pilkada dengan satu kandidat tunggal. Dalam pemungutan suara, masyarakat dipaksa memilih kandidat tunggal vs kotak kosong. Dagelan demokrasi apa lagi ini?

Dus, dengan pilkada di DKI yang begitu telanjang dengan kecurangan. Laporan soal kecurangan pun, sekadar laporan di atas kertas. Padahal, pencalonan bisa batal jika calon dan/atau tim kampanye memberi uang atau materi untuk mempengaruhi penyelenggara pemilu dan/atau pemilih. Hal itu diatur dalam pasal 73 ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2016.

Menarik pula mencermati: Pasal 57 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu menyebutkan, warganegara yang mempunyai hak memilih adalah mereka yang mempunyai KTP-el. Namun, dalam realisasinya program KTP-el yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri belum merata. Akibatnya 5 juta pemilih potensial di pilkadal 101 daerah terancam hilang.

Diberlakukannya UU Nomor 10/2016, penduduk yang belum tercantum dalam daftar pemilih tetap hanya dapat ikut pilkada berdasar KTP-el dan diperbolehkan mengikuti pemilu, bukan menggunakan surat keterangan atau identitas lainnya. Lalu, kalau syarat utamanya menurut UU adalah KTP-el, mengapa Kemendagri dan KPU memaksakan dengan surat lain? Syarat KTP-el dijelaskan pula dalam pasal 61.

Jika demikian bagaimana status keabsahan pilkada 2017? Kenapa Kemendagri dan KPU tetap memaksakan ketika KTP-el masih amburadul. Begitu pula dengan masuknya KTP-el palsu. Apa yang mau diharapkan dari pilkada dengan cara begini?

 

Terlebih, bila menengok ke belakang bagaimana dagelan KMP vs KIH ketika memutuskan menghapus pilkada. Lantas, SBY mengeluarkan Perppu Pilkada, yang sekarang menjadi UU Pilkada di atas. Pilkada pun menjadi pintu masuk: pecah belah bangsa, pencucian uang, varian kecurangan, dan permainan bandar. Lalu, pemimpin apa yang kita harapkan dengan cara demikian?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement