Rabu 13 Dec 2017 00:30 WIB

Ustaz A Somad, Harmonisasi Bali dan Kebangkitan Umat Bali

Pimpinan dan anggota Laskar Bali menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Melayu, khususnya Muslim di Riau atas peristiwa yang dialami Ustaz Abdul Somad di Bali beberapa waktu lalu.
Foto: Republika/Mutia Ramadhani
Pimpinan dan anggota Laskar Bali menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Melayu, khususnya Muslim di Riau atas peristiwa yang dialami Ustaz Abdul Somad di Bali beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung *)

Ustaz Abdul Somad, dipanggilnya. Namanya mulai mewangi seantero negeri. Bukan karena polesan media. Bukan pula lantaran sentuhan pencitraan tim entertainment.

Ustaz muda ini jebolan Universitas Al-Azhar (S1) dan Dar Al-Hadits Al-Hassania Institute, Kerajaan Maroko (S2). Gayanya sederhana, busananya biasa, tapi kedalaman ilmu dan wawasannya amat luar biasa. Ia seolah menjadi fenomena.

Hal menarik, pamornya naik bukan lantaran di-create televisi, tv kabel, atau media massa lain yang kerap disebut ustadz seleb. Mencuat lantaran banyaknya netizen yang menshare tausiyahnya.

Gayanya mengingatkan pada dua ulama besar yang dimiliki bangsa ini: Buya Hamka dan KH Zainuddin MZ. Mirip seperti Buya, dengan keluasan ilmu, cara memandang perbedaan dan logat Melayunya yang amat kenal.

Sedangkan bumbu jenaka yang satire, mengingatkan pada sosok KH Zainuddin MZ. Tapi bagi saya pribadi, bukan kemiripan pada sosok besar itu yang menarik.

Ada beberapa hal yang membuatnya seolah menjadi oase bagi umat. Pertama, akhlaknya yang amat menonjol dari kesederhanaan dan sikap tawadhu’nya.

Kedua, kedalaman ilmunya yang amat mendalam. Begitu cerdas, tegas, lugas membahas fiqih, sejarah, dan keilmuan lain. Bagi yang tak pernah membaca Kitab atau terbiasa saklek dalam menerjemahkan dalil dan hadis, ia membuka wawasan begitu dalamnya tradisi keilmuan Islam. Sekaligus mendobrak kelompok-kelompok yang amat mudah membidahkan, menyesatkan sampai mengkafirkan amaliah Muslim lainnya.

Mudah-mudahan kelompok itu mudah menjudge amalan Muslim lain yang padahal memiliki sandaran dalil, hadis dan atsar, karena keterbatasan mereka memandang luasnya samudera fiqih, bukan karena kedengkiannya terhadap sesama umat Muslim.

Yap. Dengan penghakiman bidah, sesat, kafir: telah menghasilkan perpecahan umat yang makin mengerikan. Tak percaya? Sila jalan-jalan keliling pedesaan, pegunungan, pedalaman di sejumlah daerah di Indonesia.

Dan muncullah Ustaz Abdul Somad. Gaya dakwahnya begitu jenaka, tapi amat mengena. Mendobrak doktrin-doktrin kelompok yang merasa paling nyunnah sejagat semesta.

Ustaz Abdul Somad pun makin digandrungi. Ia mampu menyatukan seluruh elemen. Mampu pula mematahkan argumen kelompok penuding bidah, sesat, kafir.

Sangat terlihat kedalaman ilmunya, tapi disembunyikan dalam kesederhanaannya. Bahkan beberapa kali menolak dan mengembalikan uang sebagai hadiah tausiah. Ini satu keistimewaan lain beliau yang jarang dimiliki orang lain.

Sikapnya mencipta satu bentuk kelangkaan dai akhir zaman seperti saat ini. Sekaligus mematahkan tudingan beliau ustaz amplop.

Dalam muamalah tak pernah membatasi diri pada kelompok Islam tertentu. Semua dirangkul. Jaringannya tak sebatas skala nasional tapi global.

Tapi baru-baru ini, ia sempat ditolak berceramah di Bali. Sejak awal penolakan, banyak yang curiga hal itu adalah design adu domba mengatasnamakan agama.

Siapa yang pernah ke Bali, tentu nikmat merasakan harmonisasi di sana. Amat tidak mungkin, dakwah Ustaz Abdul Somad yang menyatukan semua golongan justru mendapat penolakan.

Seiring waktu benar saja. Laskar Bali pun meminta maaf terbuka. Ini sikap ksatria. Perlu diapresiasi. Mereka mengaku mendapat penyesatan informasi terkait Ustaz Abdul Somad.

Bagaimana mungkin penceramah yang juga seorang PNS, bisa disebut anti NKRI. Bagaimana mungkin dai muda yang menyatukan semua golongan dianggap anti Pancasila. Bagaimana mungkin ustaz Melayu yang kerap gemar humor itu dinilai radikal.

Bahkan, ketika ribuan jamaah siap membela Ustaz Abdul Somad, beliau justru menenangkan. Menyejukan. Menebar kedamaian. Apa jadinya jika saat itu, ia menggerakan jamaah. Mungkin Bali sudah pecah darah.

Tak heran Raja Pemecutan XI, Cokorda Pemecutan justru hadir pada tablig akbar di Masjid Baiturrahman Denpasar, itu.

Begitu pula, kehadiran Penglingsir Puri Gerenceng, Anak Agung Ngurah Agung, sekaligus Ketua Forum Hindu Muslim Bali. Ini pun patut diapresiasi. Ini pula yang menunjukan masih terjaganya harmonisasi sosial di Bali. Menunjukan terjaganya harmonisasi semua agama di Indonesia.

Namun, penolakan telah terjadi. Ada upaya pembusukan karakter dan adu domba sesama anak-anak bangsa. Lalu, membawanya ke masalah SARA. Untung umat tidak terpancing. Untung Ustaz Abdul Somad ikut memancing.

Tetapi bukan berarti Islah sebagai satu-satunya jalan tengah. Islah tetap harus ada, tapi proses hukum perlu pula tetap berjalan. Hal ini untuk membuat efek jera. Sekaligus meredam kejadian serupa.

Pertanyaannya kemudian: kenapa Laskar Bali mengaku mendapat salah informasi soal Ustaz Abdul Somad? Kenapa pula penolakan terjadi, padahal beliau tak pernah muncul di televisi. Bahkan undangan dari Jokowi dan menteri pernah ditolaknya. Kecuali selepas 2019.

Untuk jawaban pertama, hanya Laskar Bali yang tahu. Nah kenapa dai yang tak muncul di tivi malah ditolak? Padahal kalah terkenal dibanding lainnya. Lalu disebut-sebut sebagai anti NKRI. Padahal seorang PNS.

Ini assyik ditelaah. Menurut hemat saya, bisa jadi karena empat hal. Semua faktor itu yang kerap digaungkan Ustadz Abdul Somad dalam pelbagai kesempatan tablig akbarnya.

Pertama, dakwah beliau menggebrak ingatan penguasa Islam agar berpihak pada kepentingan umat Muslim.

Kedua, dakwahnya juga kerap menggedor kesadaran pemuda agar kembali pada agama.

Ketiga, menghentak pengusaha Muslim dan pelaku usaha untuk mengembangkan ekonomi Islam. Keempat, menyadarkan orangtua dan guru pentingnya kurikulum agama dan Bahasa Arab.

Dan Ustaz Abdul Somad, kerap mengingatkan: "Tabligh akbar, ceramah akan percuma kalau setelah ini tak ada perubahan."

Bayangkan jika empat hal itu berjalan. Penguasa Islam berpihak pada kepentingan umat, pemuda kembali pada jalan agama, pengusaha Muslim mengembangkan ekonomi Islam.

Lalu orangtua dan guru menggenjot buah hati dan anaknya agar giat mempelajari ilmu agama dan Bahasa Arab. Jika empat hal ini berjalan, walau perlahan, yakinlah:

Kebangkitan umat bukan sekadar ngumpul jutaan orang. Bukan sekadar ukhuwah sesaat. Bukan pula utopia. Kebangkitan seperti inilah yang amat ditakuti kaum anti Islam.

Di Indonesia maupun luar negeri. Dan dakwah beliau yang menekankan empat hal di atas, yang kerap diulang-ulang: tausiah yang amat jarang dibawakan dai lain.

Sebelum kemunculan beliau, umat euforia pada ajakan kembali ke Quran dan Sunnah. Tapi, seriing waktu di lapangan umat malah terbelah. Penyematan bidah, sesat, kafir membawa umat ke belakang. Terpecah berkeping-keping.

Muncullah Ustaz Abdul Somad yang merangkul semua elemen. Dakwahnya tak menjual jargon kembali ke Quran dan Sunnah. Tak mengaku-aku sebagai ahli Sunnah. Tapi, justru substansi itu yang amat dirindu.

Substansi akhlak Quran dan Hadts yang kini menghilang. Bukankah agama adalah akhlak? Alih-alih membidahkan, mensesatkan, mengkafirkan. Kepada pemabuk dan pezina pun tetap dirangkul beliau.

Inilah substansi yang dibawa Rasulullah. Bahkan terhadap seorang Yahudi yang wafat, Rasul bersedih. Kepada Sahabat yang memiliki banyak perbedaan, dirangkul semua.

Apa jadinya kalau dulu Sahabat berbeda pendapat, langsung dicap bidah, sesat, kafir. Dakwah rahmatan lil alamiin ini yang kini hilang. Berubah menjadi rahmatan lil kelompok.

Dan Ustaz Abdul Somad mendobrak semua itu. Mengembalikan pada hal substansial. Agama adalah akhlak. Seperti dakwah yang dibawa para Salafus Saleh, Wali-wali, Ulama-ulama terdahulu: yang tak menjual jargon. Tak menjaja kemasan. Tapi langsung pada isi Quran dan Hadits itu sendiri.

Isi inilah yang disajikan Ustaz Abdul Somad. Inilah yang membawa kesejukan dan ukhuwah. Tausiah yang dirindu umat. Dan perlahan-lahan menggerakan kebangkitan. Sesuatu yang amat ditakuti pembenci Islam.

Shalaallahu alaa Muhammad.

*) Pemerhati masalah sosial tinggal di Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement