REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) resmi menjabat kembali menjadi gubernur DKI Jakarta setelah 3,5 bulan cuti kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada). Pengaktifan kembali Ahok menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan mengingat statusnya kini sebagai terdakwa kasus penodaan agama.
"Presiden Jokowi sedang mempertontonkan pembangkangannya kepada hukum," ujar praktisi hukum Ikhsan Abdullah, Senin (13/2).
Pasalnya Sesuai ketentuan Undang-Undang Pemerintah Daerah, gubernur dalam status terdakwa dan diancam hukuman lima tahun atau lebih, maka harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai gubernur. Hal itu diatur sangat jelas dalam pasal 83 ayat (1) dan (2). Akan tetapi, kata Ikhsan, pada pelaksanaannya, Presiden tidak mengindahkan ketentuan UU tersebut yang seharusnya dijalankan dengan semestinya sehingga hukum dapat ditegakkan dengan adil dan berkepastian.
Sesuai prinsip equality before the law sebagaimana tercantum dalam pasal 27 UUD NRI 1945, setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Hal inilah yang dinilainya harus dilaksanakan oleh Jokowi sebagai Presiden RI.
"Dengan tidak melaksanakan kewajibannya menegakkan konstitusi negara, Jokowi bukan saja melanggar Konstitusi RI, yakni UUD NRI 1945, akan tetapi sekaligus juga sedang mempertontonkan pembangkangannya terhadap hukum dan prinsip antidiskriminasi," ujar Ikhsan.
Dia mengatakan persoalan pemberhentian kepala daerah adalah ruang lingkup hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang dijadikan acuan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945 dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini, kata dia, sebagai konsekuensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) dan bukan negara atas dasar kekuasaan (macht staat).
Untuk itu, Ikhsan mengatakan pemberhentian Ahok sebagai gubernur murni harus dilakukan berdasarkan pada ketentuan UU. Inilah konsekuensi dari pilihan negara hukum dan bukan atas dasar kekuasaan.