Ahad 12 Feb 2017 15:46 WIB

Tanpa Pengawasan, MK akan Terjungkal Banyak Kasus

Rep: Mabruroh/ Red: Indira Rezkisari
Ketua Mahkaman Konstitusi (MK) Arief Hidayat memberikan pernyataan saat rapat pemilihan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Patrialis Akbar di gedung MK, Jakarta, Rabu (1/2).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A.
Ketua Mahkaman Konstitusi (MK) Arief Hidayat memberikan pernyataan saat rapat pemilihan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Patrialis Akbar di gedung MK, Jakarta, Rabu (1/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat tersandung kasus kode etik, mantan ketua MK Akil Muchtar ditahan, dan hakim Patrialis Akbar tersandung kasus suap. Semuanya merupakan bukti diperlukannya kembali Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawasan MK.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai permasalahan ini muncul setelah MK memutuskan agar komisi yudisial (KY) tidak lagi menjadi badan pengawasan mereka. Putusan tersebut tertuang dalam UU No 24 tahun 2003 atau putusan MK nomor 005/PUU-IV/ 2006.

"Kita ingat 2006 kewenangan KY justru dibatalkan sendiri oleh hakim-hakim MK kala itu dan KY tidak punya lagu kewenangan pengawasan, lantas siapa yang mengawasi?" tanya peneliti ICW Aradila Caesar di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Ahad (12/2).

Aradila menilai agar pemerintah tidak perlu lagi naif dengan melihat kondisi peradilan Indonesia saat ini. Sebab tidak sedikit hakim-hakim yang dicokok KPK maupun tersandung kasus lainnya.

"Jadi dengan kondisi seperti ini, apakah kita akan tetap berpegang teguh pada putusan MK terkait dengan KY yang tidak punya pengawasan itu?" lanjutnya.

ICW kata dia, melalui aksi pengisian petisi daring mengusulkan agar merevisi UU tersebut serta kembali memperkuat kewenangan KY dalam memberikan pengawasan kepada hakim-hakim MK. Sehingga harapan menghidupkan kembali kewenangan KY ini dapat menjadi salah satu cara agar menyelamatkan MK.

"Jadi harus ada lembaga pengawas tentunya yang menjaga hakim MK supaya tidak tersandung kasus, dan itu harus berangkat dari pemerintah, presiden, DPR dibantu KPK dan KY tentunya untuk mengubah sistem yang demikian lebih baik lagi," kata dia.

Logikanya kata dia, Ketua MK saat ini saja tersandung kasus kode etik. Namun hal ini seolah terabaikan akibat tidak adanya badan pengawasan untuk MK.

Oleh karena itu, dalam sudut pandang Aradila kebutuhan badan pengawasan ini sangat menentukan nasib lembaga peradilan Indonesia. Bukan saja untuk MK namun juga untuk lembaga peradilan di kabupaten dan kota seluruh Indonesia. "Maka memperkuat kewenangan KY adalah harga mati," kata dia.

Salah seorang warga masyakat, Affan Mohammad (30) tahun ikut mengisi petisi tersebut. Menurutnya apa yang terjadi dengan lembaga peradilan di Indonesia cukup memprihatinkan.

Bagaimana mungkin kata dia, masyarakat akan percaya hukum itu ditegakkan, bila hakim-hakimnya saja tersandung kasus korupsi. Penilaian ini kata dia berkaca pada kasus Patrialis Akbar yang tertangkap oleh KPK.

"Saya ingin mencari keadilan saja, ingin lembaga ini jujur, hakim kena kasus korupsi, sedih saja ya baca beritanya," kata Affan usai mengisi petisi.

Pria asli Bali ini berharap melalui petisi tersebut pemerintah bisa mendengarkan suaranya. Dan harapannya agar lembaga peradilan bersih dari kasus korupsi dapat terwujud. "Semoga lebih bersih dan lebih transparan," kata dia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement