REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Sejumlah petani di Jawa Tengah terus mengeluhkan rendahnya harga gabah kering panen (GKP). Dalam beberapa pekan terakhir, harga GKP di tingkat petani terus mengalami ‘terjun bebas’. Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia (PPNSI) mencatat, anjloknya harga GKP ini sudah terpantau di sejumlah wilayah di Jawa Tengah.
Yang terbaru laporan masuk dari petani di wilayah karesidenan Surakarta. “Pekan lalu, di wilayah Kabupaten Sragen dan sekitarnya, harga gabah kering panen di bawah Rp 3.000 per kilogram,” ungkapnya, di Semarang, Kamis (9/2).
Di luar Kabupaten Sragen, lanjutnya, persoalan yang sama dialami para petani di wilayah Solo dan Kabupaten Sukoharjo. Di beberapa wilayah daerah ini, harga GKP di tingkat petani masih berkisar Rp 3.000 per kilogram dan bahkan bisa lebih rendah.
Sejauh ini, pihaknya terus memantau perkembangan harga GKP di tingkat petani. Ia menduga, anjloknya harga GKP ini ‘ujung pangkalnya’ ada pada harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres).
Ia mencontohkan, HPP terbaru sesuai Inpres tahun 2017 juga tak kunjung turun. Dari dulu pihaknya selalu menegaskan, Inpres HPP ini masih selalu terlambat. Sehingga jamak memicu persoalan di lapangan. Seharusnya, Inpres HPP yang dimaksud sudah turun pada bulan Januari (awal tahun). Namun hal ini tidak dilakukan pemerintah. “Bahkan ketika Inpres ini belum turun, penetapan HPP masih menggunakan Inpres sebelumnya,” kata Riono.
Terkait HPP tahun 2017 ini, katanya, seharusnya ada kenaikan berkisar 10 persen dari HPP sebelumnya. Alasannya HPP tahun 2015 dengan HPP tahun 2016 tidak mengalami perubahan. Sebenarnya, tahun ini saatnya para petani bisa merasakan kenaikan HPP yang ditetapkan oleh pemerintah. “Namun yang terjadi, harga GKP di tingkat petani justru anjlok, seperti di Sragen, Solo, dan Sukoharjo,” ujarnya.
Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, rendahnya harga gabah di tingkat petani juga dikeluhkan. Harga tersebut tidak sebanding dengan produktivitas petani yang terus mengalami peningkatan.
Mugianto (39), salah seorang petani di Desa/ Kecamatan Penawangan mengaku, tahun lalu ia sempat merasakan hasil penjualan gabah kering Rp 4.000 per kilogram. Pada panen kali ini iapun berharap bisa menjual gabah dengan harga yang sama. Namun semua itu hanya sebatas harapan, setelah harga GKP kali ini justru anjlok dibandingkan dengan tahun lalu. “Tengkulak saja tidak berani membeli dengan harga Rp 3.000 per kilogram,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, jika gabah hasil panen ini dijual dengan harga Rp 3.000 per kilogram saja, ia akan menelan kerugian. Karena harga tersebut belum sebanding dengan biaya produksi yang telah dikeluarkannya. Rinciannya, untuk biaya produksi per petak sawah dari dua petak sawah yang digarapnya bisa mencapai Rp 1,3 juta, yang meliputi ongkos tanam, pembelian benih dan pemupukan. Sementara kedua petak sawah tersebut hanya mampu menghasilkan kisaran 1 hingga 1,2 ton gabah.
Jika harga jual gabah hanya Rp 3.000 rupiah maka akan didapatkan angka penjualan Rp 3,2 juta. “Bagi kami ini rugi, ongkos untuk tenaga panen belum masuk dalam komponen produksi,” tandasnya.