REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir meminta aparat penegak hukum tidak menjadi alat untuk mendiskriminasi seseorang. Aparat harus sesuai dengan kodratnya dalam menjalankan undang-undang dan menegakkan prinsip bahwa semua masyarakat Indonesia sama di hadapan hukum.
Belakangan ini, kata dia, para petinggi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI telah terjerat oleh kasus-kasus hukum. Di antaranya, Habib Rizieq Syihab dengan lebih dari satu kasus, Munarman, serta dua kasus yang menyasar Bachtiar Nasir.
Dalam penilaian Mudzakkir, ada alasan yang perlu ditanyakan kepada aparat kepolisian. Yaitu kenapa orang-orang yang dijerat adalah mereka yang ikut andil dalam aksi bela Islam 2016, lalu. "Kalau daya menganalisis dari sudut hukum pidana, mengapa harus penyidik itu atau kebijakan polisi itu ditujukan pada kelompok-kelompok tertentu yang ikut serta dalam demo kemarin, itu yang menjadi pertanyaan kita bersama," ungkap Mudzakkir saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (9/2).
Jika aparat hanya menyasar orang tertentu, maka sudah tidak sesuai dengan prinsip bahwa semua masyarakat adalah sama di hadapan hukum. Bila kasus-kasus yang menjerat para petinggi GNPF tersebut ditindaklanjuti, Muzakkir bertanya, kenapa tidak menindaklanjuti laporan terhadap Basuki Tjahaja Purnama?
Harusnya, polisi juga menindaklanjuti kasus dugaan penyadapan pembicaraan yang dalam pengadilan dibuat untuk mengintimidasi lawan. Jika laporan tersebut tidak ditanggapi, maka jelas adanya perlakukan diskriminasi. "Parameternya kan di situ, kalau dia diproses cepat maka bagus, tapi kalau itu diperlakukan berbeda, artinya memang ada perlakukan diskriminasi di sana," kata Mudzakkir.
Ia mengaku menyayangkan apa yang terjadi dengan aparat penegakkan hukum saat ini. Seolah-olah, penegak hukum justru menjadi alat untuk kepentingan, bukan untuk benar-benar menegakkan hukum dan keadilan.
Padahal, aparat penegak hukum adalah orang-orang yang hanya patuh pada hukum, pada aturan, bukan justru pada atasan atau kekuasaan. Yang terjadi pada negeri ini justru terbalik, sehingga dalam sudut pandangnya harus ada evaluasi bagi para aparat penegak hukum itu sendiri.
"Penegak hukum tidak boleh sebagai alat, hukum juga tidak boleh menjadi alat, tidak boleh ada kekuasaan, di situlah profesionalisme aparat penegak hukum harus dituntut. Jangan sampai mau diperintah oleh siapapun," jelasnya.
Kemudian, menanggapi kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menjerat Bachtiar Nasir, jangan sampai penyidik juga menyalahgunakan wewenangnya. Penyidik harus menjelaskan darimana dugaan adanya penyelewengan dana yayasan seperti yang disangkakan tersebut.
"Harus dijelaskan kalau asal comot itu menjadi subjektif. Seseorang yang dipanggil itu pengembangan dari mana, buktinya apa, itu harus jelas, kalau tidak jelas, maka menurut saya itu penyidik harus diperiksa, dia profesional atau tidak," kata Mudzakkir.
Jangan sampai, kata Mudzakkir, tokoh-tokoh tersebut justru dikait-kaitkan dengan suatu persoalan. Namun mereka harus mampu membuktikan dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukannya. "Jangan sampai tokoh-tokoh tentu dikait-kaitkan, itu tidak boleh. Ini nanti tanggung jawab dia terlalu besar di akhirat," katanya.