Jumat 03 Feb 2017 11:43 WIB

Pengamat: Harus Ada Pengusutan Dugaan Penyadapan SBY-KH Ma'ruf

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bilal Ramadhan
Penyadapan (ilustrasi)
Penyadapan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Persidangan dugaan penodaan agama dengan Terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (31/1) lalu menjadi ramai lantaran pernyataan yang dilontarkan oleh terdakwa yang mengetahui percakapan telpon antara Ketua MUI Kiai Ma'ruf Amin dengan mantan Presiden SBY soal dugaan dukungan Kiai Ma'ruf kepada Paslon nomor 1, sehingga ketua MUI itu dianggap tidak objektif menjadi saksi.

"Lontaran Ahok ini merupakan sebuah pernyataan serius sebab disampaikan dalam ruang formal, dan karenanya meski kemudian Ahok sudah meminta maaf atas pernyataan itu namun tetap diperlukan adanya pengusutan," kata Dosen Ilmu Politik Universitas Padjajaran, Yusa Djuyandi dalam siaran persnya, Jumat (3/2).

Menurut Yusa, pengusutan secara terbuka dan formal diperlukan agar persoalan ini menjadi jelas. Karena, penyelesaian atas ungkapan itu tidak hanya bisa ditempuh dengan ungkapan meminta maaf, sebab lontaran itu di sampaikan dalam ruang publik dan formal.

Kemudian, ihwal keterangan dengan pernyataan seolah mengetahui percakapan telpon antara Ma'ruf dengan SBY berarti sama saja ada indikasi penyadapan. Dalam konteks inilah soal penyadapan menjadi masalah karena dilakukan untuk tujuan kepentingan politik Pilkada.

"Jika benar terjadi penyadapan maka siapa yang kemudian melakukan?  Sebab dalam konteks ini hanya lembaga tertentu yang boleh melakukannya, yaitu kepolisian, BIN, KPK, kejaksaan. Sehingga jika Ahok atau kuasa hukumnya tau percakapan telpon, maka yang juga dikenakan sasaran adalah lembaga negara terkait yang punya hak sadap. Darimana informasi penyadapan itu? Dan mengapa itu dilakukan?  Maka pertanyaan ini perlu dijawab," jelas Yusa.

Sehingga,  untuk menegakan hukum dan menjaga kemarahan publik maka upaya klarifikasi dan sanggahan yang dilakukan pemerintah atau BIN tidaklah cukup. Selain itu,  DPR juga perlu segera bersikap, dengan memanggil lembaga dan pihak-pihak tertentu yang dianggap memiliki kaitan dengan wewenang penyadapan.

"DPR perlu mastikan bahwa fungsi penyadapan tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik kelompok tertentu," tuntasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement