REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kapitra Ampera mempertanyakan kedatangan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan ke rumah KH Ma'ruf Amin. Menurutnya, mengapa bukan Ahok langsung yang datang ke rumah Kiai.
"Si Ahok yang buang ludah, semua yang nyiram. Saya pikir ini sangat buruk untuk demokrasi dan keadilan karena ini tidak diberlakukan untuk gubernur yang lain, juga kita sebagai masyarakat," jelasnya kepada Republika.co.id di Aula Gedung Dakwah PP Muhammadiyah usai acara diskusi publik, Kamis (2/2).
Sebelumnya, Luhut dalam keterangan tertulis mengatakan, kedatangan ia ke rumah Kiai Ma'ruf Amin adalah sebagai seorang sahabat.
Kapitra menilai, sebenarnya aparat keamanan sangat merinding dengan pernyataan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ini karena mereka tahu implikasinya. Menurut Kapitra, pernyataan Ahok akan memancing luka yang lebih dalam. Sementara luka yang pertama saja belum selesai.
Kapitra berpendapat, adanya dugaan penyadapan ke mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua MUI, Kiai Ma'ruf Amin mempertontonkan bagaimana pemerintah menggunakan kekuasaan untuk komunitas.
Ia mengatakan, Polisi sebenarnya tidak perlu menunggu laporan untuk memprosesnya secara hukum karena ini delik umum. Dugaan penyadapan tersebut juga termasuk kejahatan kemanusiaan karena mengganggu kebebasan masyarakat.
"Ini ada delik, perbuatan jahat, ini harus dipidana," ujarnya. "Dan itu harus ditangkap karena ancamannya 10 sampai 15 tahun di UU ITE."
Baca juga, SBY Minta Jokowi Berikan Penjelasan Ihwal Penyadapan Ini.
Ia menjelaskan, siapa yang bisa menyadap telepon. Ada beberapa instansi yang bisa menyadap, KPK yang konsen pada korupsi, BIN dan Polisi. Bahkan, kejaksaan saja tidak punya kemampuan dan iziin untuk menyadap. BIN dan Polisi telah membantah menyadap telepon SBY.