Rabu 01 Feb 2017 09:08 WIB

Blunder Ahok Serang Kiai Ma'ruf Amin: Ironi Perayaan 91 Tahun NU

Ketua MUI Ma'ruf Amin hadir menjadi saksi pada persidangan kedelapan perkara dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di di Gedung Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Selasa (31/1).
Foto:
Massa dari berbagai ormas Islam melakukan aksi saat sidang kasus penistaan Agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang berlangsung di auditorium Kementan, Jakarta, Selasa (31/1).

Memang, sah-sah saja Ahok melakukan sejumlah upaya terkait proses hukumnya. Termasuk rencananya memperkarakan sejumlah saksi.

Namun, tentu tudingan tak bisa dilontarkan secara serampangan. Apalagi terhadap orang yang dihormati dan jadi simbol salah satu ormas terbesar di Indonesia.

Tudingan itu terlalu ceroboh jika hanya didasarkan kenyataan bahwa Ma'ruf pernah menjadi Watimpres di era SBY. Terlalu gegabah pula mengartikan adanya pertemuan antara Ma'ruf bersama petinggi teras PBNU dengan Agus sebagai bentuk dukungan politik. Lantas di mana pula bukti soal order fatwa terkait penodaan agama sebagai pesanan dari SBY?

Terkait pernyataannya kepada Kiai Ma'ruf, ada beberapa blunder besar yang dilakukan Ahok. Yang pertama Ahok menuding kiai Ma'ruf dengan sejumlah sangkaan serius. Yang kedua Ahok ikut menyeret kompetitornya, yakni Agus Harimurti Yudhoyono.

Blunder yang terbesar tentu soal tudingan kepada Kiai Ma'ruf. Kubu Ahok kini mesti membuktikan segala tudingannya soal fatwa yang diorder, pengaruh SBY, serta sikap politik kiai Ma'ruf yang tak netral.

Tentu segala tudingan itu mesti dibuktikan dengan cara yang sah yang meyakinkan di mata hukum.

Di sisi lain, Ahok dengan bahasa yang kurang sopan pada kiai Ma'ruf telah cukup mengusik hati dan kehormatan warga NU. Ini terbukti dengan ragam reaksi yang muncul dari kalangan NU.

Secara tak langsung, Ahok telah mencederai kehormatan kiai Ma'ruf Amin yang begitu dihormati dan dipanuti puluhan juta warga NU.

Entah kebetulan atau tidak, kehormatan kiai Ma'ruf juga pernah dinodai oleh beberapa aktivis Twitter pro Ahok bernama Mas Teddy Bayupatti dan seorang aktivis merangkap relawan, merangkap komisaris BUMN, Boni Hargens.

Beberapa waktu setelah MUI mengeluarkan fatwa terkait kasus Ahok, akun Mas Teddy Bayupatti pernah mengunggah foto Kiai Ma'ruf sedang bersama seorang wanita muda yang ternyata adalah istrinya. Dalam foto yang dia unggah, 'selebtweet' pro Ahok ini malah menggunakan kata-kata yang kurang sopan kepada Kiai Maruf.

"Hebat nih Pak Maruf Amin Umur 73 tahun k***y sama wanita muda umur 30 tahun," ujarnya yang menanggapi salah satu berita media online dan menampilkan foto Ma'ruf Amin dan istrinya di laman Twitter.

Tindakan nyaris serupa dilakukan Boni. Kebetulan pula, serangan kepada Kiai Ma'ruf itu dilakukan setelah beberapa waktu sebelumnya Boni juga menyerang SBY sebagai dalang atas aksi demonstrasi untuk mengawal fatwa MUI pada 4 November 2016.

Pada akhirnya publik wajar untuk bertanya, apakah memang ada usaha sistematis untuk menghabisi karakter seorang panutan NU ini?

Blunder lain yang dilakukan Ahok adalah dia menuding kompetitornya dalam Pilkada DKI, Agus Yudhoyono. Serangan itu dengan mengaitkan soal posisi Ma'ruf yang ditudingnya mengarah sebagai pendukung politik pasangan nomor urut satu itu.

Ada kesan coba mengaitkan fatwa MUI sebagai fatwa pesanan kubu Agus. Di sisi inilah tudingan itu amat serius.

Kita tahu bahwa tensi yang tercipta selama Pilkada DKI ini amat panas. Walhasil, tudingan kepada kompetitor politik malah akan menambah persoalan. Terlebih jika tudingan ini minus pembuktian yang kuat.

Di sisi lain selama ini, rival politik Ahok, Anies Baswedan maupun Agus tampak lebih bijak. Keduanya urung memanfaatkan momentum untuk menuding langsung Ahok terkait kasus penistaan agama.

Sayangnya, Ahok malah dengan mudah melontarkan tudingan dengan minus pembuktian kuat kepada lawan politiknya. Walhasil, tudingan ini berpotensi menimbulkan gugatan baru, utamanya bagi rival politik yang merasa dirugikan.

Apa pun itu, Pilkada DKI kali ini memang berlangsung dengan penuh polemik. Sayangnya, banyak polemik yang terkesan merupakan bentuk pembunuhan karakter untuk menghabisi lawan politik.

Cara melihatnya sangat mudah jika menggunakan akal sehat. Mari kita kaji secara singkat satu per satu kasus hukum yang menimpa ketiga pasang peserta Pilkada DKI.

Yang pertama kasus Ahok. Kasus ini bermula oleh pidato Ahok pada 27 September 2016 di Pulau Pramuka. Kata dibohongi pakai surah al-Maidah ayat 51, memantik rekasi umat Islam. Terlebih poisisi Ahok yang berbeda keyakinan.

Selang sekitar sepekan dari peristiwa itu, langkah hukum langsung dilakukan. Prosesnya pun hingga kini masih bergulir di pengadilan.

Simak juga kasus yang menyeret-nyeret nama Sylviana Murni terkait pembangunan Masjid al-Fauz terjadi pada 2010. Baru pada 2017, calon wakil gubernur dari kubu Agus Harimurti Yudhoyono ini digarap kasusnya.

Pun halnya Anies Baswedan yang tiba-tiba dilaporkan ke KPK oleh Komite Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Kamerad). Entah apa dan kapan substansi peristiwanya, tiba-tiba Anies dilaporkan.

Dengan rentetan laporan dan proses hukum tersebut, kita bisa mencerna mana kasus yang logis dan mana yang terkesan dipaksa atau rekayasa.

Pun halnya yang terkait dengan kiai Ma'ruf Amin. Kini kita hanya bisa menanti apa pembuktian atas segala tudingan yang disampaikan Ahok. Yang jelas, kita tak berharap ini bukanlah upaya pembunuhan karakter terhadap seorang simbol NU.

Yang jelas, sejumlah warga NU banyak yang kecewa atas segala tudingan mulai yang menyerang pribadi dan kredibilitas Rais Aam mereka, Kiai Ma'ruf Amin. Yang makin ironis, semua ini terjadi di saat organisasi Islam terbesar di Indonesia itu sedang merayakan hari jadinya ke-91.

 

*Abdullah Sammy, Jurnalis Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement