Senin 23 Jan 2017 17:00 WIB
Heboh Anthrax di Dusun Ngaglik

Daging Sapi Sakit Itu Dijual Rp 100 Ribu per 2,5 Kilogram

Petugas bersiap menyuntikkan vaksin anthrax pada ternak sapi (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Petugas bersiap menyuntikkan vaksin anthrax pada ternak sapi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  Dusun Ngaglik, Desa Purwosari, Kecamatan Girimulyo lokasinya berbukit-bukit, jauh dari keramaian. Di kanan kiri jalan menuju ke lokasi tersebut, jurang dan hutan rakyat. Jarak dari Kota Wates ibukota Kulon Progo ke Kecamatan Girimulyo sekitar 25 kilometer, tapi jalannya sudah aspal halus (hotmix). Sementara jarak dari Kecamatan Girimulyo ke Dusun Ngaglik sekitar 10 kilometer.

Selama dalam perjalanan dari Kecamatan Girimulyo ke Dusun Ngaglik, jalanan tampak sepi. Jarang berjumpa dengan orang maupun kendaraan, rumah pun jaraknya jauh-jauh. Sementara itu, dari Desa Purwosari menuju Dusun Ngaglik yang berjarak sekitar tiga kilometer, jalannya sudah berupa cor-coran semen, sempit, dan curam.

Dusun yang sepi dan jauh dari keramaian itu, tiba-tiba di Januari 2017, menjadi dikenal namanya di media cetak maupun media elektronik. Apa pasalnya? Ternyata, di dusun menjadi sumber mencuatnya kasus anthrax. Waktu itu, bermula dari laporan adanya 16 warga dari Desa Purwosari yang mengalami penyakit kulit. Namun, setelah diperiksa, diindikasikan terkena Anthrax akibat makan daging sapi milik Ngatijo yang terkena anthrax. 

Di sisi lain, untuk menuju ke rumah Ngatijo ini butuh perjuangan, karena jalannya licin dan terjal. Saat ditemui dikediamannya, Ngatijo mengatakan, sapinya di bulan November 2016 mengalami sakit sempoyongan.

"Waktu itu, kami sudah memberitahu ke Kesehatan Hewan Kecamatan Girimulyo. Tetapi, karena sapi napasnya tersengal-sengal, kami potong karena dalam Islam tidak boleh makan sapi yang sudah mati. Petugas datang, sapi sudah kami sembelih," ungkap Ngatijo  di kediamannya Dusun Ngaglik, Desa Purwosari ini.

Tampaknya, warga di Desa Purwosari khususnya di Dusun Ngaglik tak mau berbicara tentang kasus anthrax di wilayahnya. Saat Republika menanyakan kepada beberapa warga yang dijumpai, mereka seperti menutupi. Bahkan, Ngatijo pun sempat bilang hanya mau bicara kepada petugas kesehatan. "Saya kalau ditanya wartawan tidak tahu," tuturnya.

Ngatijo  menceritakan, sapi tersebut sejak dulu berasal dari Ngaglik karena indukannya berasal dari warisan orangtuanya yang sudah 20 tahun yang lalu meninggal. Indukan milik orangtuanya yang sudah sekitar tujuh kali beranak dan tidak pernah sakit. "Kalau pun sakit, biasanya keracunan daun karet dan diobati sembuh," ceritanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement