Jumat 20 Jan 2017 11:55 WIB

Sentimen Kejawaan Sulit Ditarik ke Pilkada DKI

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Fernan Rahadi
Pilkada DKI
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Pilkada DKI

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI memiliki latar belakang kesukuan yang beragam. Namun Peneliti LIPI, Riwanto Tirtosudarmo menuturkan, sentimen kedaerahan tidak bisa ditarik ke Pilkada Ibukota. Termasuk sentimen kejawaan.

Ia mengakui, berdasarkan data BPS 2010, suku jawa menduduki peringkat nomor satu dalam komposisi penduduk DKI Jakarta, disusul oleh suku betawi dan sunda. “Walau begitu, sentimen kejawaan sulit ditarik ke Pilkada DKI,” ujar Riwanto saat ditemui di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan UGM, Kamis (19/1).

Pasalnya, pemegang hak suara di DKI Jakarta didominasi oleh kaum muda, dengan rentang usia 15 sampai 50 tahun. Dimana mereka memiliki sikap yang cenderung pragmatis dan tidak melihat latarbelakang kesukuan.

Menurut Riwanto kebanyakan pemilih di Ibu Kota akan menyumbangkan suaranya untuk calon gubernur yang dianggap mampu menciptakan suasana kondusif. Baik dari sisi ekonomi, politik, maupun sosial. Mereka akan fokus pada kompetensi calon kepala daerah. Bukan dari mana kepala daerah tersebut berasal.

Ditambah lagi, Jakarta bukan merupakan kota migran. Sehingga isu kesukuan tidak akan berpengaruh pada proses politik yang sedang berjalan. Namun begitu, Riwanto tidak menampik bahwa sentimen keagamaan cenderung lebih mudah ditarik ke Pilkada DKI.

“Karena sentimen keagamaan ini paling mudah menyentuh orang untuk bergerak,” ujarnya. Ia menyampaikan, pada intinya nasib Ibu Kota pada 15 Februari mendatang hanya ditentukan oleh pemegang KTP Jakarta.

Sementara itu, peneliti LIPI lainnya, Aulia Hadi menuturkan, pemilih muda Jakarta sangat menginginkan perubahan. Kebanyakan di antara mereka menganggap perubahan tersebut sudah berjalan pada saat pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja purnama alias Ahok.

Namun, menurut Aulia, terkadang kebijakan yang dikeluarkan Ahok bias kelas. “Misalnya Pemprov DKI mengeluarkan aplikasi keluh, agar warga jakarta bisa menyalurkan keluhannya melalui perangkat digital,” kata alumnus mahasiswa Komunikasi UGM itu menjelaskan.

 Tapi di sisi lain, tidak semua masyarakat jakarta mampu untuk menggunakan atau mengagkses gadget. Sehingga kebijakan tersebut tidak mampu menjangkau masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement