REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPD asal DKI Jakarta Fahira Idris berharap debat kandidat cagub-cawagub DKI membahas isu-isu yang dihadapi masyarakat. Misalnya tentang reklamasi dan penggusuran.
''Masa depan proyek reklamasi yang kontroversial sampai kebijakan calon soal penggusuran harus terpapar dalam debat. Ini penting karena kedua isu ini berkaitan langsung dengan hajat hidup warga Jakarta,'' ucap Fahira, di Jakarta, Jumat (13/1).
Menurutnya, warga terutama nelayan dan warga lain yang terdampak reklamasi, perlu tahu sikap tegas para calon terhadap proyek kontroversial ini. Selain menabrak berbagai aturan, berpotensi merusak lingkungan, menghancurkan ekosistem di Kepulauan Seribu, mengancam identitas dan eksistensi nelayan Jakarta, diyakini bakal membuat Jakarta mengalami banjir skala luas.
Proyek tersebut juga dianggap hanya untuk memuaskan hasrat para pengusaha properti, dan sebagai pengingkaran terhadap konsep poros miritim. Saat ini kasus korupsi proyek reklamasi Teluk Jakarta, oleh KPK dianggap masuk kategori grand corruption.
Dalam sejarah Jakarta, lanjut Fahira, proyek reklamasi ini dapat dikatakan sebagai kebijakan paling kontroversial. Publik berhak tahu apa alasan logis jika masih ada calon yang memaksa untuk melanjutkannya dan alasan rasional jika ada calon yang hendak menghentikannya.
''Dampak dari proyek reklamasi bersentuhan langsung dengan kehidupan warga Jakarta, jadi harus dibahas dalam debat,'' ujar Fahira.
Soal penggusuran, Wakil Ketua Komite III DPD menilai juga tidak kalah penting dibahas dalam debat. Saat ini warga DKI Jakarta terpecah pendapatnya soal maraknya penggusuran dalam dua tahun terakhir. Sehingga, debat publik Pilkada DKI Jakarta ini menjadi momentum bagi para calon memaparkan pendapatnya soal penggusuran. Apakah para calon punya alternatif lain selain menggusur atau kebijakan penggusuran menjadi satu-satunya pilihan.
Kemenangan warga bukit duri di PTUN, tambah Fahira, menunjukkan kebijakan penggusuran di Jakarta masih dilakukan secara serampangan, melanggar hukum, dan tidak manusiawi.
''Bagaimana bisa, tanah yang sah dimiliki warga secara turun temurun digusur dan diambil alih secara paksa atas nama kepentingan publik. Kalau ini terjadi di negara otoriter kita bisa maklumi, tapi ini terjadi di Indonesia yang katanya rakyat memegang kedaulatan,'' ucapnya.