Sabtu 07 Jan 2017 05:33 WIB

Understanding GAP Kemenkeu vs JP Morgan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi Kuliah Umum di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, Kamis (5/1).
Foto: EPA
JPMorgan Chase

Tidak sedikit komentar yg berbeda beda atas hasil riset JPM maupun reaksi keras Menkeu. Secara umum sikap Menkeu SMI mendapat dukungan luas publik. Meski demikian, Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi & Bisnis UI cenderung mengamini hasil riset JPM bahwa terpilihnya Trump berpotensi memberikan dampak negatip terhadap nilai tukar rupiah maupun pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sebelumnya Lembaga UI ini juga sudah memberikan warningnya kepada pemerintah Indonesia melalui Economic Outlooknya kedepan. Bedanya, JPM mempunyai "otoritas" menurunkan peringkat Indonesia dan dinilai oleh Kemenkeu seenaknya sendiri tanpa alasan2 yg kuat dan detail. Sementara Ketua BKPM Thomas Lembong menghargai hasil riset JPM itu dan independensinya, serta mengingatkan bhw hasil riset itu bersifat jangka pendek.

Pertanyaannya adalah kenapa riset JPM yang sebenarnya rutin itu, kali ini menimbulkan kehebohan di Indonesia? Dalam pandangan saya karena terdapat understanding gap yang melatar belakangi reaksi keras Menkeu itu.

Pertama, selama ini pemerintah menganggap JPM sebaga partner yang seharusnya membela Indonesia. Di lain pihak JPM melihat dirinya sendiri dari 2 (dua) sisi yaitu sebuah lembaga riset yang profesional dan independen sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi bagi investor internasional.

Selain itu, JPM  sendiri dapat dilihat sebagai lembaga bisnis yang selalu mencari peluang mendapatkan keuntungan, yg bukan tidak mungkin dengan menghalalkan segala cara. Misalnya, bermain untuk menjatuhkan harga Surat Berharga di pasar, memborongnya, lalu menjualnya lagi setelah harga membaik (yang bisa jadi juga hasil rekayasa pasar).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement