REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pers menerima sebanyak 750 aduan dari masyarakat terkait media massa selama 2016, 90 persen dari aduan tersebut untuk media arus utama dan sisanya media abal-abal.
"Sebagian besar dari masyarakat, nomor dua dari birokrasi," ujar Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo kepada Antara di Jakarta, Rabu (4/1).
Ia menuturkan aduan paling banyak berasal dari DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Jawa Timur. Sementara sebagian besar aduan mengenai kesalahan kode etik jurnalistik dan perilaku wartawan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 70 aduan belum selesai karena kedua pihak tidak menemukan kesepakatan.
Yosep mengatakan Dewan Pers sudah memfasilitasi untuk mempertemukan dua belah pihak, tetapi terdapat kendala untuk bertemu, terkadang dijadwal ulang hingga beberapa kali. "Banyak kasus seperti ini, sekadar mempertemukan saja tidak bisa," ujar Yosef.
Dewan Pers, tutur dia, akan berusaha membujuk pihak pengadu dan media untuk menyelesaikannya dalam tahun ini. Adapun aduan yang sudah selesai, sebagian besar menggunakan jalur risalah, yakni penyelesaian kedua belah pihak yang ditandatangani oleh Dewan Pers.
Selanjutnya pendapat, penilaian dan rekomendasi dari Dewan Pers serta rekomendasi pengadu menggunakan undang-undang yang lain, bukan UU Pers. Dewan Pers berdasarkan mandat Undang-Undang Pers Nomor 44 Tahun 1999 berperan melakukan pendataan terhadap media massa yang ada di Indonesia serta menerima aduan dari masyarakat terkait media massa.