Kamis 29 Dec 2016 17:52 WIB

Perludem Sebut Masih Ada Empat Daerah Rawan Konflik di Pilkada 2017

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni saat menjadi pembicara dalam diskusi Akhir Tahun 2016 bertajuk Catatan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Serentak 2017 dan Persiapan Menuju Pemilihan Serentak Nasional 2019.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni saat menjadi pembicara dalam diskusi Akhir Tahun 2016 bertajuk Catatan Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Serentak 2017 dan Persiapan Menuju Pemilihan Serentak Nasional 2019.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan ada empat daerah yang berpotensi mengalami konflik dalam Pilkada serentak 2017. Penyelenggara dan pengawas pemilu diminta mempersiapkan antisipasi potensi konflik di keempat daerah.

Titi menjelaskan, keempat daerah yakni Provinsi Aceh (pemilihan gubernur), Provinsi DKI Jakarta (pemilihan gubernur), Provinsi Papua Barat (pemilihan gubernur) dan Provinsi Papua (pemilihan gubernur dan walikota di 11 kawasan).

"Kondisi dan latar belakang potensi konflik di keempat daerah berbeda-beda. KPU dan Bawaslu tentu harus memberikan perhatian lebih kepada keempat daerah," ujar Titi usai memberi paparan catatan akhir tahun transisi demokrasi di Jakarta Pusat, Kamis (29/12).

Titi memberikan contoh, pilkada 2017 bagi Provinsi Aceh merupakan pemilihan kepala daerah secara langsung pada kali ketiga. Dalam bursa pemilihan tersebut, ada calon gubernur dan wakil gubernur yang sebelumnya pernah menjadi kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Potensi konflik terjadi karena pertarungan politik para mantan kombatan tersebut.

Sementara itu, di DKI Jakarta, potensi terjadi akibat sentimen SARA dan provokasi untuk kepentingan elektoral. Di Papua, lanjutnya, potensi konflik masih samar terlihat. Titi menuturkan, 11 daerah yang menggelar Pilkada di Papua berada di wilayah pegunungan.

Kesebelas daerah ini diketahui akan menggunakan sistem noken. Dalam sistem ini, surat suara nantinya dimasukkan ke dalam noken (tas dari akar kayu) milik kepala suku. Sistem noken ini sebelumnya menjadi solusi atas keterlambatan penyediaan kotak suara pada pemilu 1977 lalu.

"Sistem ini, tetap berpotensi manipulasi dan kecurangan. Apalagi jika ada mobilisasi politik uang terhadap kepala suku," ungkap Titi.

Berbagai potensi konflik, kata dia, harus diantisipasi dengan pendekatan lokal. Pihaknya mengingatkan agar penegakan hukum atas potensi konflik harus dilaksanakan secara tegas. Berdasarkan catatan Perludem, selama proses kampanye Pilkada Aceh 2017, ada 20 kekerasan yang tercatat. Kekerasan berupa pemukulan, perusakan alat peraga kampanye, intimidasi dan sebagainya.

Sayangnya, kata Titi, belum ada kelanjutan proses penegakan hukum yang tegas atas 20 pelanggaran itu. "Jangan sampai ada proses yang kompromistis atau permisif terhadap pelanggaran Pilkada. Tindak tegas dengan melibatkan pelaku kepentingan lokal," tambah Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement