REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi bukti yang kuat dugaan pemberian suap yang dilakukan Fahmi Darmawansyah dalam perkara tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
"KPK mengantongi dan punya bukti-bukti yang kuat untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, tapi tidak bisa disampaikan secara rinci rekaman pembicaraan apa, jika memang ada pembicaraan, dan dokumen terkait tapi bukti yang dimiliki KPK terbatas 5 alat bukti yang diakui KUHAP dan minimal punya dua alat bukti untuk meningkatkan ke penyidikan," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (23/12).
KPK pada Jumat memeriksa Fahmi sebagai saksi dalam tersebut selama sekitar tujuh jam. Fahmi juga merupakan tersangka pemberi suap dalam kasus ini sehingga ia langsung ditahan di rumah tahanan kelas I Jakarta Timur cabang KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur.
"Yang kami terima dari penyidikan, FD terkait dengan PT ME (Merial Esa), tapi mengenai kaitan perusahaan dan aliran dana akan diungkap dalam proses berikutnya," kata Febri.
Sehingga apakah Fahmi merupakan inisiator pemberi suap atau merupakan perantara masih akan ditentukan dalam proses penyidikan. "Dalam pasal yang dikenakan, indikasi pemberian suap ini dikenakan pasal 55 sehingga ada sejumlah pihak yang diduga sebagai pemberi, namun apakah merupakan pemberi langsung, perantara atau penyandang dana akan diungkap dalam lebih rinci dalam proses berikutnya. Tapi benar KPK punya bukti signifikan dan meyakinkan untuk melanjutkan perkara ini ke penyidikan," ujar Febri.
Febri pun belum merinci apa kaitan PT Meria Esa (ME) dan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) yang merupakan pemenang tender monitoring satelit. "Belum bisa disampaikan relasi PT MTI dan para tersangka, tapi seperti yang disampaikan sebelumnya informasi yang didapatkan adalah FD sebagai bagian PT ME sehingga dilakukan penahanan," ujar Febri.
PT Merial Esa pada 2007 pernah mengimpor 35 unit pikap dari Thailand senilai Rp 9,9 miliar selaku perwakilan Rahal International Pte Ltd dari Singapura. Namun dalam dokumen impor tercantum ambulans Isuzu OZ 4x4, sedangkan barang yang diterima ternyata mobil bak terbuka jenis SUV 4x4 Isuzu D-Max. Puluhan mobil itu sempat ditahan di Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok.
Selain ketidaksesuaian antara barang yang diterima dengan dokumen impor, kasus ini juga ditengarai adanya keterlibatan salah satu kerabat Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) saat itu Jenderal Djoko Santoso dengan pemilik pemilik PT Merial Esa.
Kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan KPK pada Rabu (14/12) terhadap Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Eko Susilo Hadi dan tiga orang pegawai PT Melati Technofo Indonesia Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan Danang Sri Radityo di dua tempat berbeda di Jakarta.
Eko diduga menerima Rp 2 miliar sebagai bagian dari Rp 15 miliar commitment fee, yaitu 7,5 persen dari total anggaran alat monitoring satelit senilai Rp 200 miliar. Namun KPK baru menetapkan Eko sebagai tersangka penerima suap dan Hardy, Muhammad Adami Okta serta Fahmi sebagai tersangka pemberi suap sedangkan Danang hanya berstatus sebagai saksi.
Eko Susilo Hadi disangkakan pasal 12 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sedangkan Fahmi Darmawansyah, Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta sebagai tersangka pemberi suap disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.