Selasa 20 Dec 2016 18:33 WIB

LSI: 11,8 Persen Warga DKI Ingin Dipimpin Tersangka Penista Agama

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Ilham
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia ( LSI ) Ardian Sopa (kanan) memaparkan hasil survei LSI mengenai elektabilitas Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada pemilihan dua putaran di Jakarta, Selasa (20/12).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia ( LSI ) Ardian Sopa (kanan) memaparkan hasil survei LSI mengenai elektabilitas Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada pemilihan dua putaran di Jakarta, Selasa (20/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari pemungutan suara Pilkada DKI 2017 kurang dari dua bulan lagi. Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa mengatakan, sulit bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk mengubah sentimen mayoritas publik Muslim di Jakarta dalam kurun waktu yang tersisa tersebut.

"Jika tidak tumbang di putaran pertama, Ahok akan kalah telak di putaran kedua Pilkada DKI 2017, baik oleh Agus Harimurti Yudhoyono maupun Anies Baswedan," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (20/12).

Ardian menjelaskan, ada beberapa alasan yang menyebabkan Ahok sulit bersaing di Pilkada 2017. Pertama, mayoritas warga di Ibu Kota ternyata menginginkan kehadiran sosok pemimpin baru, bukan pemimpin lama alias pejawat. Hasil survei terbaru yang dilakukan LSI Denny JA menunjukkan, total pemilih yang menginginkan Jakarta dipimpin gubernur baru mencapai di atas 60 persen.

Alasan kedua, kasus dugaan penodaan agama yang melilit Ahok turut memengaruhi persepsi dan sentimen pemilih di Ibu Kota secara signifikan. Hasil survei lembaga menunjukkan, total pemilih yang menganggap Ahok menista agama Islam mencapai 65,7 persen. Sementara, jumlah pemilih yang tidak ingin dipimpin oleh gubernur tersangka penista agama sebanyak 65 persen. Hanya 11,8 persen pemilih yang bersedia dipimpin oleh tersangka penista agama.

"Sentimen ini bakal menyulitkan Ahok untuk menang di putaran kedua Pilkada DKI," katanya.

Ardian menuturkan, Ahok bisa saja bermain peran sebagai victim (korban) dalam kasus penodaan agama yang tengah dihadapinya untuk mendulang simpati publik. Namun, dia tidak yakin cara itu mampu menggenjot perolehan suara Ahok secara dramatis, apalagi sampai membawa mantan bupati Belitung Timur itu memenangkan Pilkada DKI dalam satu putaran.

Itu dikarenakan mayoritas pemilih di Jakarta termasuk kelompok pemilih yang rasional. Sehingga mereka pun dianggap mampu menilai kasus penodaan agama oleh Ahok secara rasional pula.

Kalaupun seandainya nanti Ahok mampu mengubah keadaan dan menang di Pilkada Februari 2017 karena adanya faktor yang tidak diduga-duga, kata Ardian, gubernur DKI nonaktif itu tetap terganjal status hukumnya. Jika proses peradilan di PN Jakarta Utara berjalan normal dan terus berlanjut hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, itu bakal memakan waktu yang lama.

Ardian memperkirakan, butuh waktu tahunan sampai adanya keputusan hukum yang tetap dan final untuk menyelesaikan kasus Ahok. Karena proses hukum itu, seandainya pun Ahok menang di pilkada nanti, besar kemungkinan Djarot (calon wakil gubernur pendamping Ahok) yang akan menggantikan posisinya.

"Dengan kata lain, baik ketika Ahok menang apalagi kalah di pilkada, besar kemungkinan Jakarta tetap akan punya gubernur baru pada 2017," kata Ardian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement