Ahad 18 Dec 2016 15:00 WIB

Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Perempuan Buruh Migran

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Esthi Maharani
  Pengunjuk rasa dari sejumlah elemen buruh melakukan aksi memperingati Hari Migran Internasional di Depan Istana Negara Jakarta, Kamis (18/12). (Republika/Yasin Habibi)
Pengunjuk rasa dari sejumlah elemen buruh melakukan aksi memperingati Hari Migran Internasional di Depan Istana Negara Jakarta, Kamis (18/12). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai telah gagal melindungi perempuan buruh migran yang sering kali menjadi korban kekerasan. Koordinator Program Solidaritas Perempuan Nisaa Yura, mengatakan sebanyak 106 kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran terjadi sejak Februari 2012 hingga Februari 2015.

Kasus tersebut terjadi dalam berbagai macam bentuk kekerasan dan pelanggaran hak, seperti eksploitasi jam kerja, pemotongan atau bahkan gaji yang tak dibayar, kekerasan fisik dan psikis, kekerasan seksual, hingga perdagangan manusia dan yang menyebabkan hilangnya nyawa.

"Dua tahun pemerintahan Jokowi masih menunjukan negara telah menjadi pelaku kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran," kata Nisaa di Jakarta, Ahad (18/12).

Berdasarkan hasil pendataan dan identifikasi kasus, terlihat adanya indikasi praktik perdagangan melalui perekrutan yang tak prosedural yang mencakup iming-iming, penipuan, pemalsuan identitas, penyekapan di tempat kerja, eksploitasi perempuan buruh migran, dll.

Sayangnya, menurut dia, pemerintah belum mampu membangun mekanisme yang sistematis, termasuk posisi tawar di dalam perlindungan hak perempuan buruh migran. Pemerintah juga dinilai lamban dalam pembahasan revisi UU no 39 tahun 2004 sehingga menyebabkan kebijakan yang dilakukan pemerintah tak menjawab permasalahan yang ada.

Contoh kebijakan tersebut yakni Roadmap Zero Domestic Worker 2017 yang diikuti dengan KEPMEN no 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pasa Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.

Kebijakan inipun dinilainya justru semakin mendiskriminasi perempuan. Karena itu, dalam moment Hari Buruh Migran Internasional ini, Solidaritas Perempuan mendorong pemerintah untuk meningkatkan perlindungan terhadap perempuan buruh migran melalui undang-undang yang berlandaskan Konvensi Migran dan CEDAW.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement