REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani mengatakan komplek parlemen di Senayan betul-betul "bau asap rokok". Hal itu dinilai dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertembakauan menjadi RUU Inisiatif DPR pada rapat paripurna Kamis (15/12).
"Sudah sangat nyata Senayan 'bau asap rokok'. Sedari awal, RUU Pertembakauan sudah mendapat catatan dari masyarakat sipil yang mendesak RUU tersebut dicabut," kata Julius dihubungi di Jakarta, Jumat (16/12).
Julius mengatakan RUU Pertembakauan mendapat penolakan dari masyarakat sipil karena tidak berpihak pada hak asasi manusia sebagaimana tercantum pada Pasal 28H Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. RUU Pertembakauan juga dinilai berseberangan dengan Nawa Cita yang menempatkan tujuan kesehatan sebagai bagian integral di dalamnya, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
"Selain itu, RUU Pertembakauan juga cacat prosedural. Proses pembahasan RUU Pertembakauan sedikitnya melanggar Peraturan Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2009, yaitu Pasal 99 Ayat (6), Pasal 101 Ayat (1) dan (2), Pasal 104 Ayat (7) serta Pasal 106 Ayat (9)," tuturnya.
Julius menilai RUU Pertembakauan juga membuang tenaga dan anggaran negara karena berkali-kali keluar masuk dalam program legislasi DPR sejak 2009 dengan perubahan yang tidak jelas dan progresif. "Tidak ada hal penting yang mendesak untuk diatur dalam RUU Pertembakauan. Apa yang ada dalam naskah RUU Pertembakauan sudah diatur dalam 14 undang-undang lain. Yang berbeda hanya mengutip secara sama persis dengan Peta Jalan Industri Hasil Tembakau Tahun 2015-2020 yang sudah dibatalkan Mahkamah Agung," katanya.
RUU Pertembakauan justru dinilai bisa membatalkan peraturan lain yang lebih menyeluruh mengatur dampak konsumsi tembakau seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Belum lagi, akan tumpang tindih dengan peraturan lainnya.