REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA - Kelompok agama diimbau untuk saling menenggang rasa dan juga saling menahan diri. Guru besar Universitas Islam Syarif Hidayatullah, Prof Dr Azyumardi Azra, mengemukakan hal itu di Nusa Dua, Bali, Rabu (7/12).
Ia menjawab pertanyaan wartawan terkait insiden saat ibadah jelang hari raya Natal di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga), Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12).
"Melaksanakan ajaran agama itu jangan terlalu menyala-nyala. Harus punya sensitivitas juga," kata Azyumardi di sela-sela acara Seminar Internasional tentang Islam, Demokrasi dan Tantangan Pluralisme dan Demokrasi.
Azyumardi mengatakan, sikap beragama yang menyala-nyala, dapat memicu konflik dan bisa merugikan Indonesia.
Kegiatan itu dipertanyakan sejumlah warga masyarakat, terkait perizinan kegiatan acaranya.
Menurut Azyumardi, setiap orang boleh meyakini dan melaksanakan keyakinan agamanya. Hanya saja yang harus diingat tidak ada agama yang monolitik di dunia, apakah itu Islam dan juga Nasrani.
Di Indonesia sebut Azyumardi, gereja juga banyak, sementara Pendeta Stephen Tong yang memimpin Ibadah bertajuk Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), bukan dari Persekutuan Gereja Indonesia atau PGI. Perbedaan itu hendaknya diperhatikan juga, agar tidak memicu masalah.
"Kalau kita tidak sensitif, sikap seperti itu dapat menyinggung pihak luar atau pun dalam kelompok agama itu sendiri," kata Azyumardi.
Menurut Azyumardi, kasus yang terjadi di Gedung Sasana Budaya Ganesha Bandung sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia. Karena mata dunia internasional, akan mengamati Indonesia tekait masalah itu. "Kasus itu bisa membuat citra Indonesia buruk di mata internasional, karena kita tidak sensitif dan kurang punya tenggang rasa," katanya.
Baca juga, Kronologi Pembubaran Kebaktian di Sabuga oleh Ormas.