Rabu 07 Dec 2016 04:47 WIB

Politik dalam Sepotong Roti

Roti buaya
Foto:
Roti 'Fresh From The Oven' produk Tan Ek Tjoan.

Tentu tidak mudah untuk bisa mewawancarai Mantiri. Apalagi tanpa perjanjian dan tanpa memberitahu terlebih dahulu. Saya berusaha mencari celah supaya bisa sampai kediaman jenderal bintang tiga di kawasan elite di Baranangsiang, Bogor.

Akhirnya timbul inspirasi unik. Mengubah dari spesialisasi sebagai wartawan politik menjadi wartawan tata boga (makanan). Hal ini setelah saya ingat suatu peristiwa di Mabes ABRI, Cilangkap. Saat itu dalam sebuah acara, tersaji roti merk tertentu yang menjadi sajian utama. Di situ saya tahu bahwa roti ‘Tan Ek Tjoan’, disajikan secara gratis oleh istri dari Kasum ABRI, Letjen HBL Mantiri.

“Kalau pensiun, saya jadi tukang roti,” kata Mantiri sambil tersenyum saat itu. Ia didampingi istrinya, Ongke Hanna Elia. 


Mantiri kelahiran Bogor dan orangtuanya berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Sedangkan istrinya keturunan Tionghoa.

Rupanya keluarga Mantiri memiliki usaha roti ‘Tan Ek Tjoan’ yang dikelola istrinya.

Sesampainya di Bogor saya berusaha mencari roti tersebut. Tidak sulit, karena banyak pedagang roti gerobak sepeda dengan merk tersebut. Tidak seperti biasanya, saya pun memperhatikan dengan saksama roti-roti tersebut, mulai bentuknya yang bukan persegi, melainkan panjang berbentuk seperti tapal kuda.

Selain roti tawar, beberapa roti manis menjadi ciri khasnya. Sebut saja roti gambang, roti cokelat, roti nougat, bimbam dan solo. Mereka juga menerima pesanan roti buaya dengan panjang 1 meter. Rotinya padat dengan rasa yang tetap terjaga dan harganya terjangkau.

Setelah mencicipi beberapa roti dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada pedagang, saya merasa cukup modal. Ya, modal untuk mewawancari Nyonya Mantiri. Nasib baik menyertai usahaku. Di depan pintu gerbang rumah Mantiri, ternyata Nyonya Mantiri sedang menerima telepon. Seorang petugas penjaga rumah bertanya tujuan kedatangan saya. Dengan enteng saya jawab, ”Sudah janji dengan Ibu Mantiri wawancara soal roti.”

Mungkin jawaban saya terasa aneh di telinga penjaga rumah jeenderal tersebut. Sang penjaga pun segera mendekati puan rumah. Saya perhatikan Nyonya Mantiri agak heran, namun ia mendekat ke pintu gerbang.

“Ada apa dek dan dari mana?”

“Saya wartawan, ingin mewawancarai ibu soal roti Tan Ek Tjoan. Saya pernah dapat bingkisan roti dari ibu di Cilangkap,” kata saya, berbohong.

“Kapan ya?”

“Waktu acara Dharma Pertiwi di Mabes ABRI,” kata saya, berbohong lagi.

Akhirnya, saya diperkenankan masuk rumah yang besar dan cukup asri tersebut. Dipersilakan duduk di ruang teras rumah. Setelah mendapatkan sajian minuman dan makanan kecil, Nyonya Ongke Hanna Elia pun mulai membuka percakapan.

“Rasanya agak aneh. Sebab kata bapak, akan ada beberapa wartawan yang berusaha mencarinya untuk wawancara. Tapi ini malah wawancara saya soal roti,” kata OH Elia dengan senyum penuh curiga, petang itu.

Deg degan juga. Namun saya segera mencairkan suasana dengan pertanyaan-pertanyaan meyakinkan seputar roti yang saya pelajari dalam waktu singkat itu. Wawancara ‘bohong-bohongan’ itu merupakan strategi agar bisa menemui Jenderal Mantiri yang sedang dalam perjalanan pulang ke Bogor.

Saya berusaha mengulur-ulur waktu dengan pertanyaan demi pertanyaan, seputar bentuk roti, rasa roti, sejarah roti hingga tertariknya keluarga Mantiri untuk bisnis roti yang bertekstur agak keras ini.

Sampai akhirnya sasaran yang ditunggu datang, malam itu. Mantiri berhenti sejenak di teras rumah. Ia pun langsung duduk di samping istrinya. Benar-benar hoki. Langsung pada kesempatan pertama, saya ajukan pertanyaan.

“Loh, kata istri saya wawancara soal roti?”

“Ah, ini wartawan bisa-bisa aja. Ah kamu…” kata Mantiri.

Belakangan Mantiri takjub ketika saya menceritakan bahwa Wakil Presiden Mohammad Hatta kerap meminta ajudannya untuk membelikan roti Tan Ej Tjoan jika melintasi Kota Bogor.

Diplomasi roti, akhirnya membuat Mantiri bersedia menjawab sejumlah pertanyaan seputar sikapnya ditolak Australia. Ia mengaku baru dipanggil menghadap Presiden Soeharto, Menlu Ali Alatas, dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. 


Hari itu, saya menjadi wartawan paling beruntung, berhasil mewawancarai Jenderal Mantiri secara eksklusif di kediamannya. Plus mendapatkan oleh-oleh satu paket roti ‘Tan Ek Tjoan’.

Kelak Mantiri akhirnya dialihkan menjadi duta besar di Singapura.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement