Selasa 29 Nov 2016 09:26 WIB

Indonesia Butuh Pemimpin yang Pancasilais

Rep: Eko Supriyadi/ Red: Ilham
Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan.
Foto: ist
Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan.

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Ketua MPR, Zulkifli Hasan berharap, Pemuda Muhammadiyah bisa berkontribusi dalam upaya mempersatukan NKRI. Apalagi, saat ini kondisi politik tanah air tengah menghangat jelang pelaksanaan pilkada serentak Februari nanti.

''Pemikiran-pemikiran yang baik atau program yang berguna buat persatuan bangsa tentu akan menjadi sumbangsih yang sangat berguna bagi bangsa dan negara,'' kata Zulkifli, saat menyampaikan sosialisasi Empat Pilar MPR RI dihadapan anggota Muhammadiyah, Tangerang Banten, Senin (29/11).

Zulkifli juga menyayangkan sikap sebagian masyarakat yang belum melaksanakan pancasila. Sikap yang tidak mencerminkan pancasila itulah, menurut Zulkifli, yang menyebabkan masyarakat Indonesia tak kunjung mendapatkan kesejahteraan dan kerap bertikai untuk kepentingan sesaat.

Buktinya, di Indonesia ini terdapat 1.119 izin tambang milik swasta, nasional, dan asing. Selain itu, ada juga 260 lebih izin batubara, tetapi masyarakat tak kunjung memperoleh kesejahteraan. Masih banyak orang miskin, anak-anak yang tak bersekolah, serta pengangguran.

Karena itu, Indonesia membutuhkan pemimpin yang bersifat pancasila. ''Insan pancasilais selalu disinari cahaya illahi. Ucapan dan tindak tanduknya mencerminkan Ketuhanan, sesuai sila pertama,'' ujarnya.

Orang yang bersikap pancasiliais, lanjut Zulkifli, tidak bisa membiarkan rakyat yang miskin tertindas, tidak membiarkan anak tak sekolah. Karena sikap manusia yang pancasilais selalu berpihak pada yang lemah. Mereka tidak pernah berkompromi, apalagi bernegosiasi kecuali terus berpihak pada masyarakat kelas bawah.

Merujuk pernyataan Ketua MK, Zulkifli menilai saat ini banyak pemimpin yang mengalami disorientasi. Mereka tidak tahu, untuk apa menjadi pemimpin. Karena yang mereka pahami hanya mencari kekayaan dan keuntungan pribadi.

''Pemimpin yang main gusur itu tidak pancasilais. Karena pancasila itu mengajarkan musyawarah untuk mufakat,'' ucapnya.

Ia mencontohkan, cara memindahkan manusia secara beradab itu pernah diajarkan oleh Jokowi saat ia menjadi wali kota Solo. Ketika itu, Jokowi tidak asal gusur. Ia mengajak masyarakat berdialog untuk mencari mufakat, bahkan oleh Jokowi musyawarah seperti itu dilaksanakan berulang-ulang sampai masyarakat paham dan bisa menerima.

''Bahkan setelah masyarakat menerima, Jokowi tidak memberikan ganti rugi. Karena ia memberikan ganti untung,'' jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement