REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mendorong penghapusan terhadap pasal 27 dan 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sebab, kedua pasal tersebut bersifat multitafsir.
Pasal 27 berkaitan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, sedangkan pasal 28 berkaitan dengan penghasutan terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). "Rumusan pasal-pasal itu bermasalah sehingga menjadi 'sapu jagad' yang bisa dikenakan ke siapapun," kata Kepala Divisi Riset LBH Pers Asep Komarudin kepada Republika.co.id, Kamis (24/11).
Untuk itu, polisi harus jeli ketika menggunakan pasal tersebut untuk menjerat seseorang. Misalnya dalam penggunaan pasal 28 ayat (2) yang dikenakan Polda Metro Jaya kepada Buni Yani. "Apakah memang postingan tersebut bertujuan dan bermaksud secara sadar menghina seseorang ataupun penghasutan. Itu harus clear," kata Asep.
Pembuktian terhadap dugaan penghasutan di UU ITE sulit dibuktikan sehingga kepolisian harus jeli. LBH Pers menilai pasal-pasal tersebut tidak sepatutnya ada dalam UU ITE mengingat sifatnya yang multitafsir. Siapapun bisa 'terkena' pasal-pasal tersebut, termasuk Buni Yani dan juga Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Menurutnya untuk menjerat tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran nama baik, cukup dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan dalam KUHP, aturan soal pencemaran nama baik lebih detil dibanding dalam UU ITE.
Asep mengatakan pengenaan pasal 28 ayat (2) terhadap Buni Yani tidaklah tepat. Pasalnya harus jelas siapa yang dihina dan RAS mana yang diserang dalam kasus tersebut. Ditambah lagi dalam kasus itu, Buni Yani tidak me-mention siapapun dalam unggahan statusnya di Facebook-nya.
"Pengenaan pasal tersebut saya pikir tidak tepat dan sudahlah lebih baik hapus itu pasal 27 dan 28," ujar Asep.