REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Polda Metro Jaya telah menetapkan Buni Yani sebagai tersangka pada Rabu (23/11) malam. Pengunggah video Ahok itu dijerat sangkaan pencemaran nama baik dan penghasutan.
Namun, menurut Wakil Ketua DPR Fadli Zon, pihak kepolisian tidak cukup adil dalam menetapkan status tersebut. Politikus Partai Gerindra itu menilai ada diskriminasi terhadap Buni Yani. Apalagi bila dibandingkan dengan proses hukum atas pejawat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebelumnya.
"Karena, dilihat ini dalam proses penyelidikan langsung kepada tersangka (Buni Yani) tanpa ada gelar perkara, seperti yang terjadi misalnya pada Ahok. Harusnya ada gelar perkara dahulu, baru kemudian bisa dilihat secara terbuka. Tapi sayangnya, itu tak terjadi. Jadi saya kira ada kriminalisasi di situ," katanya saat ditemui di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (24/11).
Kemarin malam, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Awi Setiyono menjelaskan, ada tiga ujaran yang telah ditulis Buni Yani pada akun media sosialnya. Tiga hal itu, lanjut Awi, tidak ada dalam video yang diunggah Buni Yani.
Berikut tiga ujaran yang dimaksud.
"PENISTAAN TERHADAP AGAMA?"
"Bapak-Ibu (pemilih muslim).. Dibohongi Surat Almaidah 51 (masuk
neraka) juga bapak ibu. Dibodohi."
"Kelihatannya akan terjadi suatu yang kurang baik dengan video ini."
"Tiga paragraf inilah berdasarkan saksi ahli meyakinkan penyidik yang bsrsangkutan melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE. Yang di dalam kurung itu ditambahkan sendiri," ucap Awi, Rabu (23/11).
Akan tetapi, Fadli Zon memandang bahwa tidak ada sama sekali upaya menghasut dari ketiga ujaran tersebut.
"Karena, kalau dilihat dari soal unggahan dan kalimat-kalimat itu, tidak ada yang mengarah dia kepada satu penghasutan. Dan pasal itu kan pasal pra-demokrasi. Maksudnya, kalau dia dikenakan tuduhan itu, adalah pra-demokrasi," jelasnya.