Rabu 23 Nov 2016 06:21 WIB

Demonstran Bayaran, Jokowi, Aktor Makar, dan Macetnya Dialog Kebangsaan

Lautan massa memadati kawasan Bundaran Air Mancur Bank Indonesia sebelum menuju ke depan Istana Merdeka di Jakarta, Jumat (4/11).
Foto:
Massa Parade Bhineka Tunggal Ika yang menggelar aksi damai mengangkat tema kebinekaan, menginjak rumput dan taman di sekitar kawasan Bundaran BI Patung Kuda, Sabtu (19/11).

Apa sebenarnya maksud Jokowi mengatakan ada aktor politik yang menunggangi? Apa maksud Ahok mengatakan pada media asing bahwa demonstran dibayar? Apa maksud Boni Hargens bahwa SBY yang menjadi aktor? Lalu mengapa berkembang lagi menjadi isu makar?

Analisa politik menunjukkan mereka berusaha untuk membelokkan arah tuntutan aksi massa ummat Islam, yang sejatinya bersifat moral, yakni menuntut Jokowi untuk tegas membela agama Islam, lalu digeser menjadi isu politik. Khususnya, di arahkan kepada SBY yang dianggap berambisi mendorong anaknya menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017 dan berpotensi Capres RI 2019, saingan Jokowi.

Persoalannya adalah apa dampak hal tersebut bagi Jokowi sendiri?

Pertama, Jokowi termakan isu dari kalangannya sendiri yang membuatnya panik. Seolah olah ada rencana makar saat ini. Hal ini tampak ketika Jokowi melakukan "Safari Politik" yang terkesan "overdosis" ke ormas ormas Islam serta ke jajaran militer dan polisi pada tingkat  yang hirarkinya cukup rendah.

Di jajaran elit seputar Jokowi pun saling bantah soal ada tidaknya rencana makar ini. Membingungkan dan meresahkan secara nasional.

Kedua, terjadi kecurigaan Jokowi atas institusi intelijen dijajarannya. Dimulai dengan beredarnya isu kegagalan intelijen menampilkan data akurat dan presisi atas jumlah massa aksi 411, yang dikaitkan dengan isu adaktor politik serta aksi berbayar, mengakibatkan adanya bayangan "power game" pada kekuasaan yang sedang berlangsung.

Padahal data dan informasi soal ketidak puasan publik masih tetap dalam inti kasus Ahok, yang tidak gampang digeser keurusan perebutan kekuasaan.

Ketiga, muncul persepsi adanya  ketegangan antara Jokowi dengan Wapres Jusuf Kalla, yang terlihat oleh publik dengan dinegasikannya perundingan Jusuf Kalla dengan pimpinan demonstran 411 sore hari. Kenapa  demonstran mau berunding dengan JK, sebaliknya menolak berunding dengan Menkopolhukam yang ditunjuk Jokowi? Kenapa perundingan GNPF dengan JK "dianulir" dalam rapat kabinet terbatas dinihari paska 411 tersebut?

Ketiga hal di atas seharusnya tidak perlu terjadi jika Jokowi mempunyai lingkaran elit yang loyal dan cerdas membaca keadaan.

Saat ini, persoalan Ahok sebenarnya sudah cukup direspons baik oleh Jokowi. Jokowi sudah mendukung Kapolri mentersangkakan Ahok. Persoalannya adalah perasaan publik yang masih belum puas. Rakyat menilai bahwa tidak ditahannya Ahok merupakan bentuk perlindungan Jokowi pada Ahok, yang masih tersisa. Hal ini dibandingkan pada berbagai kasus sebelumnya, semua kasus penistaan agama, pelakunya ditahan.

Dalam demokrasi, tuntutan ummat Islam untuk memenjarakan Ahok mempunyai legitimasi yang kuat. Yang Jokowi sebenarnya dapat melihat tuntutan itu sebuah kewajaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement