Senin 21 Nov 2016 12:08 WIB

Buddha, Biksu, dan Legitimasi Politik di Myanmar

Pengungsi Muslim Rohingnya.
Foto: AP
Pengungsi Muslim Rohingnya.

Buddha, Biksu, dan Legitimasi Politik di Myanmar

Oleh: Teguh Setiawan, Mantan Jurnalis Republika.

Jika saat ini Anda berada di Yangon, atau di salah satu kota besar di Myanmar, sempatkan menyambangi pedagang DVD di pinggir jalan.

DVD khutbah biksu bersaing dengan DVD bajakan film Hollywood, lagu-lagu lokal, dan lainnya. Dalam salah satu DVD, seorang biksu menggunakan retorika sejarah untuk membentuk pemahaman pendengarnya bahwa Buddha di Myanmar dalam bahaya.

"Semua negara tetangga Burma; Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, Indonesia, dan Malaysia, awalnya pemeluk Buddha," ujar si pengkhutbah.

"Satu per satu mereka menyingkirkan berhala dan menjadi Muslim," lanjutnya. "Selama sekian puluh tahun, dalam bentuk Muslim Rohingya, orang-orang barbar berada di pintu gerbang Myanmar."

Independent, sebuah surat kabar Inggris menulis, khutbah sang biksu menandakan iklim paranoia seribu tahun. Sebuah iklim yang memunculkan perilaku tak mencerminkan Buddhisme di kalangan para biksu, dan respons umat Buddha awam menghadapi tantangan yang ditimbulkan Muslim Rohingya.

Tidak seluruh biksu memperlihatkan perilaku tak Buddhisme. Biksu U Withudda, U Seindita, dan U Zawtika, adalah tiga dari sedikit biksu yang menolak mengkhianati delapan jalan Sang Buddha.

Ketiganya menyelamatkan Muslim Rohingya yang meminta perlindungan, ketika terjadi aksi berdarah tahun 2012. Sumbangsih mereka diakui Parlemen Agama Dunia di Oslo.

Lainnya adalah biksu U Pinnyasiha, yang menyerang retorika anti-Muslim Rohingya. Namun, seperti tiga biksu penyelamat Rohingya, U Pinnyasiha tidak populer. Ma Ha Na, lembaga pemerintah Myanmar yang bertanggung jawab mengatur biarawan, melarangnya berkhutbah.

Sejenak melihat ke belakang, paranoia seribu tahun ini datang begitu cepat. Tahun 2007, ratusan ribu biksu berpawai di jalan-jalan menyanyikan Sutta Metta -- sebuah sutra (lagu) cinta kasih kepada sesama.

"Semua makhluk yang bernafas dan diberkahi dengan hidup bahagia. Mari kita tumbuhkan semangat cinta tak terbatas," demikian para biksu bernyanyi.

Tidak ada klausul dalam Sutta Metta bahwa Muslim Rohingya tidak termasuk makhluk yang harus dicintai. Syair dalam Sutta Metta mencakup semua, tanpa kecuali.

Lima tahun setelah aksi ratusan ribu biksu menyanyikan sutta metta di jalan-jalan, kerusuhan rasial -- yang digerakkan sekelompok biksu radikal -- merebak di jalan-jalan Yangon dan kota-kota lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement