Senin 21 Nov 2016 12:08 WIB

Buddha, Biksu, dan Legitimasi Politik di Myanmar

Pengungsi Muslim Rohingnya.
Foto:
Cantik ala Burma

Beruntung, junta militer mendapat banyak dukungan para biksu, dan Suu Kyi tidak punya cukup dana untuk membeli biarawan. Terlalu sedikit biksu yang menentang retorika anti-Muslim Rohingya membuat Suu Kyi memilih diam ketika di depan hidungnya orang-orang diperas untuk mati pelan-pelan.

Pekan lalu, para biksu yang tergabung dalam Ma Ba Tha Sayadaw -- atau Organisasi Perlindungan Ras dan Agama -- memperluas cakrawala chauvinisme-nya. Caranya, akan memboikot jika partai tidak mendukung Buddhisme ikut pemilu.

Junta militer, yang katanya sedang melakukan demoktratisasi, tidak melakukan apa-apa. Di sisi lain, terlalu sedikit biksu yang mengingatkan bahwa apa yang dilakukan Ma Ba Tha bertentangan dengan delapan jalan Sang Buddha.

Aung San Suu Kyi, dengan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), juga diam melihat sikap tidak demokratis di hadapannya.

Situasi ini menguatkan asumsi ketika agama dan kekuasaan bergandeng tangan, yang muncul adalah kejahatan terhadap demokrasi dan kemanusiaan. Itu tidak hanya terjadi di Myanmar, tapi juga di Sri Lanka.

Tidak ada yang bisa dilakukan U Pinnyasiha, sang biksu 'durhaka', kecuali mengatakan; "Jika orang terus berlatih tiga hal; moralitas, kebijaksanaan, dan intelektual, maka dharma dan kebijaksanaan Buddha tidak akan luntur. Jika orang melatih ketiganya, Buddha tidak akan menghilang dari dunia ini."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement