Senin 21 Nov 2016 12:08 WIB

Buddha, Biksu, dan Legitimasi Politik di Myanmar

Pengungsi Muslim Rohingnya.
Foto:
Presiden Arakan Rohingya National Organization Nurul Islam (tengah) didampingi Presiden Burmese Rohingya Association in Japan Lukman Hakim (kanan) dan Anggota Organisasi Hak Asasi Manusia di Burma Mahbubul Haque (kiri) menyampaikan aspirasinya dalam aks

Anehnya, mengapa hanya Muslim Rohingya yang menjadi target serangan. Bukankah Yangon dan Mandalay, dua kota terbesar di Myanmar, adalah rumah bagi ribuan Hindu, Muslim non-Rohingya, Kristen, Tao, Yahudi, dan atheis.

Muslim non-Rohingya terdiri dari Muslim Kaman, Muslim Panthay, dan Muslim Burma, dengan latar belakang etnis berbeda. Kristen dianut hampir semua etnis di Myanmar.

Biksu dan nasionalis Buddhis tahu apa yang harus dikatakan ketika menghadapi pertanyaan ini. Muslim Rohingya adalah kalar -- sebutan merendahkan untuk orang berkulit gelap. Jika demikian, Tamil Myanmar juga harus dimasukkan ke dalam kalar, tapi mengapa tidak dilakukan.

Mungkin, alasan paling tepat para biksu adalah karena Muslim Rohingya adalah etnis minoritas non-Buddhis terbesar di Myanmar, dengan populasi 1,5 juta. Dalam pandangan biksu fanatik, Myanmar adalah rumah terakhir kemurnian Buddhisme, dan harus tetap murni.

Serangan terhadap Muslim Rohingya mungkin langkah awal dari upaya pemurnian Myanmar sebagai negara Buddhisme. Komunitas keagamaan lain, yang jauh lebih kecil, adalah sasaran berikutnya.

Buddhisme dan otoritas terjalin erat di Myanmar selama berabad-abad. Jalinan itu sempat putus tahun 2007, ketika 30 biksu yang berdemo menentang pemerintah ditembak mati di jalan-jalan.

Setelah itu otoritas militer Myanmar dan sangha, urutan tertinggi dalam monastik Buddha, memperbaiki hubungan mereka. Inggris Jordt, antropolog AS yang menjadi biarawati Buddha, mengatakan Pemerintah Myanmar tidak bisa mengabaikan bahwa selama 800 tahun penguasa Myanmar akan selalu tergantung pada sangha.

Sangha dalah hpoun, sumber spiritual. Sangha harus menyediakan hpoun kepada penguasa. Penguasa tidak punya legitimasi tanpa hpoun. Pada gilirannya, penguasa terpatronisasi dan mendukung para biksu.

Namun, hubungan ini bukan tanpa gangguan. Akan selalu ada biarawan durhaka, yang menolak mendukung pemerintah. Ini terlihat ketika junta militer menghadapi Aung San Suu Kyi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement