REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Aliansi Indonesia (AIDA) Hasibullah Satrawi mengatakan Revisi Undang-undang (RUU) nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme harus memuat perihal perlindungan dan pemenuhan hak medis oleh negara kepada korban tindak pidana terorisme.
Menurut dia, RUU tersebut tersebut harus juga mengatur bahwa negara menjamin segala kebutuhan penanganan medis untuk korban tindak pidana terorisme yang sedang dalam masa-masa kritis. "Kenapa, karena temuan kita di lapangan banyak korban yang tidak secara otomatis mendapat penanganan medis sebelum ada pihak yang menjamin, baik itu keluarga atau negara," kata dia, Kamis (17/11).
Selain itu, AIDA juga meminta agar pembahasan RUU tersebut juga perlu memperjelas definisi korban yang dirugikan akibat perilaku terorisme. Hasibullah mengatakan korban tindak pidana terorisme adalah hal yang patut diperhatikan. Korban tipe ini perlu dipisahkan dan dibedakan dari korban penanganan terorisme.
"Definisi korban itu dijelaskan, korban tindak pidana terorisme adalah yang paling elementary. Kalau korban penangannan terorisme itu negara harus merehab," ujar dia.
Selain itu, aturan soal pemberian kompensasi juga harus diatur secara jelas. Pemberian kompensasi harus diberikan kepada korban tindak pidana terorisme dalam bentuk materi atau nonmateri sebagai wujud ganti rugi.
"Dan perlu ada hitung-hitungannya yang sesuai, misalnya apakah korban meninggal itu adalah kepala keluarga yang memiliki banyak anak, ini yang harus dibedakan," kata dia.