Selasa 15 Nov 2016 14:07 WIB

Yusril: KPK Seperti Toko Kelontong

Yusril Ihza Mahendr
Foto: Antara/ Wahyu Putro A
Yusril Ihza Mahendr

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, Yusril Ihza Mahendra, menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti toko kelontong yang genit dalam melakukan pemberantasan korupsi. "Fakta yang kita lihat, KPK ternyata lebih genit dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hampir seperti toko kelontong yang menjual segala hal," kata Yusril dalam sidang pembacaan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (15/11).

Ia berpendapat, KPK tidak lagi fokus pada kegiatan untuk mencegah kerugian keuangan negara. "Tetapi lebih senang dengan pemberitaan yang luar biasa besar dengan liputan media cetak dan elektronik dan dengan penggunaan bahasa yang sarkastis, diucapkan sambil terbata-bata untuk menarik perhatian, karena telah melakukan 'penangkapan', yang selama ini dipublikasikan sebagai Operasi Tangkap Tangan (OTT)," ujarnya.

Dalam perkara ini, Irman didakwa menerima Rp 100 juta dari Xaveriandy Sutanto dan Memi karena telah mengupayakan CV Semesta Berjaya milik Xaveriandy dan Memi mendapat alokasi pembelian gula yang diimpor oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) untuk disalurkan di Provinsi Sumatera Barat dengan memanfaatkan pengaruhnya terhadap Direktur Utama Perum Bulog.

Yusril menilai bahwa KPK pun tidak memberikan waktu kepada Irman untuk melaporkan pemberian Rp 100 juta itu kepada KPK. Ia menjelaskan berdasarkan pasal 12 huruf C pemberian dalam keadaan tertentu tidak serta merta masuk dalam kategori suap atau korupsi dan yang harus dilakukan adalah memberikan waktu kepada penyelenggara negara yang menerima gratifikasi tanpa niat untuk melaporkan hadiah kepada KPK dalam waktu 30 hari setelah penerimaan hadiah yang dimaksud.

"Tapi dalam perkara a quo, terdakwa tidak mengetahui isi buah tangan dan bahkan Memi dan Xaveriandy tidak menjelaskan isi buah tangan saat menyerahkan bingkisan kepada terdakwa, namun oleh KPK dibuat seolah-olah benar adanya menjadi rangkai peristiwa pidana terdakwa dengan niat lebih dulu telah menerima hadiah atau janji dari Memi dan Xaveriandy Sutanto dan mengetahui isi hadiah berisi uang Rp 100 juta melalui OTT, sehingga terdakwa yang sebenarnya tanpa niat dan isi buah tangan tersebut," ucap dia.

Padahal, menurut Yusril, Presiden Joko Widodo pun sempat menerima hadiah dari perusahaan minyak milik Rusia Rosneft dan melaporkannya ke KPK. "Presiden Jokowi telah melaporkan tiga hadiah atau gratifikasi dari perusahaan minyak swasta Rusia Rosneft ke KPK. Saat itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, langkah Presiden Jokowi harus diikuti oleh pejabat negara lainnya, padahal pemberian gratifikasi ke Presiden Jokowi itu diberikan secara bertahap melalui Pertamina pada saat kunjungannya ke Rusia pada Mei 2016," ujarnya.

Yusril menilai KPK tidak memenuhi hak Irman untuk melaporkan gratifikasi itu ke KPK. Menurutnya, hak-hak terdakwa melaporkan buah tangan harus dihormati dan dipenuhi berdasarkan hukum hanya bila dalam 30 hari tidak menyerahkan bingkisan itu ke KPK.

Baru kemudian KPK dapat mengatakan perbuatan terdakwa itu adalah perbuatan tindak pidana, bukan dibuat-buat seolah-olah perbuatan itu benar adanya melalui OTT dan dipublikasikan terdakwa benar-benar menerima gratifikasi secara melawan hukum. "Tidak adil bagi terdakwa yang menerima bingkisan atau buah tangan tanpa niat dan tidak diberikan waktu dan kesempatan untuk menyerahkan buah tangan ke KPK yang belakangan diketahui uang Rp 100 juta," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement