REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah sebulan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama bergulir. Rencananya penyidik Mabes Polri akan melakukan gelar perkara terbuka terbatas pada Selasa (15/11) untuk memastikan apakah perbuatan Ahok merupakan tindak pidana atau tidak.
Penyidik juga akan memastikan mengenai status penyelidikan, apakah penyelidikan dapat dilanjutkan atau sebaliknya proses hukum berhenti sampai di penyelidikan saja. Tidak sedikit masyarakat yang skeptis dan apriori terhadap kinerja polri dalam menangani kasus Ahok. Ini berawal dari pernyataan Kapolri yang mengatakan Ahok tidak memiliki niatan (mensrea) untuk melakukan penistaan sehingga tidak ada unsur pidana.
Presiden Jokowi pun tidak luput dituding melindungi Ahok karena lamban merespons reaksi umat Islam. Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ikhsan Abdullah mengatakan keadaan masyarakat menjadi terkotak-kotak dan cenderung saling mencurigai satu dengan yang lainnya. Berbicara di ruang publik pun merasa tidak nyaman.
"Masyarakat dihadapkan pada keadaan yang disharmonis, sesuatu yang sangat berpotensi merobek persatuan bangsa dan kebinekaan yang selama ini dengan susah payah dirawat dan dipertahankan," ujarnya, Ahad (13/11) malam.
Kini semua perhatian dan pandangan terfokus pada kinerja Polri dalam melakukan proses hukum terhadap Ahok. Menurut dia, posisi Polri dihadapkan pada keadaan yang tidak teramat berat. Masyarakat menilai Polri sangat lamban dalam melakukan proses hukum.
Hal ini ditandai dengan Polri tidak mau menerima laporan dan pengaduan masyarakat atas kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok dengan alasan masih harus menunggu fatwa MUI. Setelah MUI mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan pada (11/10), Polri masih terkesan mengulur waktu dengan berdalih harus menunggu izin Presiden untuk melakukan pemanggilan terhadap Ahok. "Padahal ketentuan mengenai izin Presiden untuk memanggil gubernur telah dicabut oleh keputusan Mahkamah Konstitusi," kata Ikhsan.
Lalu, menurut dia, yang lebih naif lagi publik tiba-tiba harus terhentak dengan pernyataan Kapolri yang menyatakan bahwa Ahok tidak memiliki kesengajaan niat (mensrea) untuk melakukan kejahatan, karenanya bukan merupakan tindak pidana. "Kecurigaan umat semakin besar dan pernyataan Kapolri menimbulkan kecemasan yang luar biasa bagi umat Islam karena Polri dianggap tidak memiliki kepekaan sosial terhadap masyarakat yang perasaannya terlukai oleh ucapan Ahok," ujarnya.
Puncak dari kecemasan publik adalah reaksi umat berupa aksi damai 4 Novermber 2016 yang diikuti sekitar sejuta umat. Aksi demo terbesar sepanjang sejarah republik ini.