REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peristiwa tangkap paksa Kepolisian terhadap ketua umum, sekretaris jenderal, dan dua orang Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) lainnya dini hari tadi dinilai sebagai bentuk anarkisme politik. Tak hanya itu, aksi penangkapan yang dilakukan polisi dinilai cerminan Polri yang telah masuk permainan politik Presiden Joko Widodo.
"Menunjukkan bahwa Kepolisian sudah menjadi bagian dari permainan politik pemerintahan Jokowi yang memang tidak menyukai gerakan Bela Islam yang sudah semakin meluas," ujar mantan Sekretaris Jenderal PB HMI periode 1999-2001, Ahmad Doli Kurnia, Selasa (8/11).
Menurut dia, apa yang dilakukan Kepolisian saat ini merupakan wujud nyata keberpihakan dan sudah masuk pada bagian gerakan 'Bela Ahok' yang sekaligus dapat dipersepsikan mewakili sikap Pemerintahan Jokowi. "Mereka saat ini sedang ingin memecah dan melemahkan kekuatan gerakan Bela Islam yang menuntut Tangkap Ahok dengan pengalihan isu," kata dia.
Sebelumnya, Ketua Bidang Komunikasi Umat PB HMI Pahmudin Kholik, Selasa (8/11) dini hari mengatakan, lima kader yang diamankan di antaranya adalah Sekretaris Jenderal PB HMI Ami Jaya dan anggota HMI Ismail Ibrahim.
Ia mengaku penangkapan pada Ami Jaya terjadi pada Senin (7/11) tengah malam. Ketika itu, aparat kepolisian mendatangi Sekretariat PB HMI di Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan.
Aparat kemudian menunjukkan surat perintah penangkapan Ami Jaya. Ketua Umum PB HMI Mulyadi beserta tim kuasa hukum sempat mendampingi pemeriksaan para kader HMI tersebut di Polda Metro Jaya. Sampai saat ini, lima kader HMI tersebut masih ditahan oleh pihak kepolisian.