REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada seluruh kadernya untuk mengikuti ataupun tidak mengikuti aksi damai 4 November. Namun secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
"Oleh karena itu kalau ada warga Muhammadiyah yang ikut aksi itu merupakan sikap pribadi, bukan representasi lembaga sehingga mereka tidak boleh menggunakan atribut organisasi," ujar Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti kepada Republika.co.id, Selasa (1/11). Risiko yang timbul akibat keikutsertaan juga menjadi tanggung jawab pribadi.
Muhammadiyah, kata dia, tidak bisa melarang kadernya mengikuti aksi itu karena merupakan hak pribadi dan berkaitan dengan akidah. Yang jelas pemimpin Muhammadiyah tidak ikut serta. Menurut Mu'ti, demonstrasi tersebut bertujuan agar aparat penegak hukum memproses kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secepat mungkin. "Nah, dalam hal ini kami (pemimpin Muhammadiyah) berpendapat kalau dugaan penistaan agama sudah dilaporkan ke kepolisian dan kemudian kepolisian sudah memproses itu, maka kami percayakan pada kepolisian," jelasnya.
Siang tadi, perwakilan Muhammadiyah bersama Nadhatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bertemu dengan Presiden Joko Widodo membahas masalah-masalah kebangsaan. Mu'ti menyebut ada beberapa hal yang dibicarakan yakni masalah pembangunan, ekonomi, politik, termasuk rencana aksi 4 November. Jokowi menyampaikan bahwa ia tidak mengintervensi kasus hukum yang membelit Ahok. "Itu sikap yang banar. Lembaga peradilan itu kan mandiri, tidak bisa diintervensi termasuk oleh Presiden," ujarnya.
Mu'ti berharap aksi 4 November berlangsung tertib, aman, lancar, santun, dan berkeadaban. Apalagi aksi tersebut membawa nama Islam sehingga sudah seharusnya sesuai dengan tuntutan dan akhlak Islam. Jangan sampai aksi tersebut justru bertentangan dengan Islam.