Selasa 01 Nov 2016 15:15 WIB

Pimpinan NU, Muhammadiyah, dan MUI tak Hadiri Demo 4 November

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan
Seorang anak menggunakan ikat kepala saat ikut berunjuk rasa mengecam Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Medan, Sumatra Utara, Jumat (14/10).
Foto: Antara/ Irsan Mulyadi
Seorang anak menggunakan ikat kepala saat ikut berunjuk rasa mengecam Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Medan, Sumatra Utara, Jumat (14/10).

REPUBLIKA.CO.ID, ‎JAKARTA -- Beberapa tokoh Muslim akan hadir dalam aksi bela Alquran 4 November 2016 di depan Istana Negara, Jakarta, di antaranya Habib Rizieq Shihab, Arifin Ilham, Abdullah Gymnastiar, Bachtiar Nasir, dan Didin Hafidhuddin.

"Hampir semua ormas Islam akan hadir, kecuali pimpinan NU, Muhammadiyah, dan MUI," kata Wakil Ketua Gerakan Nasional Pendukung Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Muhammad Zaitun Rasmin kepada Republika.co.id, Selasa (1/11).

Dia menghormati sikap pemimpin ketiga lembaga yang tidak ikut turun ke jalan. "Mungkin karena mereka ormas tertua barangkali banyak pertimbangan. Kami hargai," kata dia.

Zaitun berharap hal tersebut tidak menimbulkan pertentangan. Namun ia yakin di dalam hati dan pikiran ketiga pemimpin lembaga tersebut pastilah sama dengan para peserta aksi, yakni ada unsur penistaan agama dalam ucapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu.

Meski begitu, kader ketiga lembaga tersebut tetap ikut meramaikan aksi, bahkan tak hanya kader di DKI Jakarta, melainkan dari berbagai wilayah termasuk Jawa Timur, Madura, Sumatra, Kalimantan, dan Papua.

Zaitun membantah tudingan yang menyebut aksi 4 November bertujuan politis. Aksi ini, kata dia, bukan bertujuan meminta Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta mendiskualifikasi Ahok dalam ajang pemilihan gubernur (pilgub) 2017. Tujuan aksi semata mendesak kepolisian agar memproses Ahok sesuai hukum dan seadil-adilnya.

Selama ini, para ulama dan tokoh Muslim memang mengajak umat agar tidak memilih pemimpin beragama non-Muslim. Lewat ajakan tersebut bukan berarti ulama mencampuri urusan politik.

"Buktinya di Kalbar (Kalimantan Barat), di sana juga ada ajakan memilih pemimpin non-Muslim. Tapi ternyata yang terpilih selama dua periode adalah gubernur non-Muslim, setelah itu fair. Di Semarang juga begitu. Jadi tidak ada kaitannya dengan pilkada," jelas Zaitun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement