Senin 31 Oct 2016 18:55 WIB

'Di Jakarta, Rumah Ibadah Boleh Dibangun di Mana Saja'

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Damanhuri Zuhri
Gereja (ilustrasi)
Foto: Sesawi.net
Gereja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan gereja di Jakarta terus mengalami peningkatan selama pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurut catatan Biro Pendidikan Mental dan Spiritual (Dikmental) Provinsi DKI Jakarta, untuk tahun ini saja ada 13 izin prinsip yang diterbitkan untuk pendirian rumah ibadah di seluruh wilayah Ibu Kota.

Tujuh di antaranya adalah izin prinsip untuk pembangunan gereja Kristen. Sementara, sisanya untuk pendirian lima unit masjid dan satu unit pura Hindu.

Kepala Subbagian Fasilitas Kegiatan Mental Spiritual Biro Dikmental Provinsi DKI Jakarta, Tatang, menuturkan, pendirian rumah ibadah di Ibu Kota sekarang memang lebih mudah dan terbuka jika dibandingkan dengan di masa-masa yang lalu. Dulu, Pemprov DKI Jakarta tidak dapat menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk tempat-tempat ibadah yang didirikan di atas lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

Namun, aturan semacam itu sekarang tidak berlaku lagi. Pasalnya, sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (Perda Zonasi), pendirian rumah ibadah kini boleh dilakukan di mana saja. Masyarakat Ibu Kota pun sekarang tak perlu lagi repot-repot mengurus izin perubahan peruntukan tanah di lokasi yang hendak mereka gunakan untuk pembangunan rumah ibadah.

"Kalau mengacu pada perda tersebut, tanah yang tadinya dikhususkan untuk ruko (rumah toko), pusat bisnis, atau perkantoran kini bisa diubah peruntukannya menjadi tempat ibadah," ujar Tatang saat berbincang dengan Republika, Senin (31/10).

Hingga 2013, kata dia, setiap rumah ibadah yang berdiri di atas tanah untuk hunian, ruko, pusat bisnis, atau perkantoran harus memiliki izin perubahan peruntukan tanah. Pengurusan izin itu pun dulu bisa memakan waktu sangat lama, yakni sampai satu tahun atau bahkan lebih.

Namun, sejak diberlakukannya Perda Zonasi DKI No 1 Tahun 2014, izin perubahan peruntukan tanah untuk bangunan ibadah kini tidak diperlukan lagi. Sebagai gantinya, kata dia, ''Setiap pendiri rumah ibadah harus mengikuti semua persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 9 dan No 8 Tahun 2006, serta Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta No 83 Tahun 2012 tentang Prosedur Pemberian Persetujuan Pembangunan Rumah Ibadah," ucap Tatang.

Dalam PBM No 9 dan No 8 disebutkan, pendirian suatu rumah ibadah harus mendapat dukungan dari masyarakat setempat, paling sedikit 60 orang dewasa. Di samping itu, rumah ibadah yang hendak dibangun mesti memiliki jamaah/jemaat minimal 90 orang.

Khusus untuk di wilayah Jakarta, pendirian rumah ibadah juga harus mendapat rekomendasi dari bupati/wali kota, Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi DKI.

"Setelah semua persyaratan tersebut dipenuhi, tim pertimbangan Biro Dikmental Provinsi DKI akan melakukan kajian teknis sesuai aturan Pergub DKI Jakarta No 83/2012, sebelum mengeluarkan izin prinsip untuk pembangunan rumah ibadah yang bersangkutan. Izin prinsip ini berfungsi sebagai pengantar untuk memperoleh IMB," kata Tatang menjelaskan.

Menurut Tatang, dari sejumlah persyaratan yang dipaparkan di atas, persetujuan atau dukungan dari masyarakat setempat menjadi kata kunci yang paling penting dalam proses pendirian suatu rumah ibadah di Indonesia. Tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pendirian tempat ritual keagamaan itu bisa dipastikan mustahil untuk terlaksana.

Seperti kasus pendirian Gereja Sungai Yordan (GSY) di kawasan Sunter, Jakarta Utara, misalnya. Pada 2008, izin prinsip pendirian gereja itu sudah diterbitkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Akan tetapi, pembangunannya mendapat penolakan dari warga setempat karena minimnya sosialisasi dari pihak pendiri gereja. Sebagai dampaknya, IMB gereja itu pun tidak dapat diterbitkan oleh Pemprov DKI sampai sekarang.

Menurut data terakhir yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta, jumlah masjid di seluruh wilayah Ibu Kota saat ini tercatat sebanyak 3.047 unit. Angka tersebut tidak pernah berubah sejak 2011. Kendati demikian, ada penurunan jumlah masjid yang cukup signifikan di kota ini jika dibandingkan dengan data yang terekam pada 2010, yakni sebanyak 3.148 unit.

Selanjutnya, jumlah gereja Kristen di seluruh wilayah Jakarta pada 2014 sebanyak 1.098 unit. Angka tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan data yang tercatat pada 2011 yang hanya berjumlah 902 unit. Sementara, jumlah gereja Katolik di Ibu Kota tidak mengalami perubahan sejak 2010 sampai 2014, yaitu hanya 45 unit.

Berikutnya, jumlah pura/kuil di Jakarta pada 2014 sebanyak 27 unit, mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan data pada 2010 yang hanya 21 unit. Sementara, jumlah vihara di Ibu Kota pada 2014 tercatat sebanyak 292 unit, mengalami kenaikan bila dibandingkan enam tahun lalu yang berjumlah 248 unit.

Diakui Tatang, beberapa kebijakan penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam beberapa waktu belakangan ikut berdampak pada penurunan jumlah sarana ibadah di Ibu Kota. Dia pun mencontohkan penggusuran yang terjadi di kawasan Kalijodo, Februari lalu. Ketika itu, ada tiga rumah ibadah yang dirobohkan oleh alat-alat berat Pemprov DKI. Ketiga rumah ibadah itu adalah Masjid al-Barokah, Mushala al-Muttaqin, dan Gereja Bethel Indonesia.

Selain di Kalijodo, penggusuran di kawasan Kampung Akuarium, Jakarta Utara, pada April lalu juga meluluhlantakkan satu unit bangunan ibadah milik umat Islam lainnya. Tempat ibadah yang dihancurkan itu adalah Mushala al-Ikhlas yang beralamat di RT 12 RW 04 Kampung Akuarium. Sementara, dalam kegiatan penggusuran di Rawajati, Jakarta Selatan, akhir Agustus lalu, Pemprov DKI Jakarta kembali merobohkan satu bangunan ibadah lagi, yaitu Mushala al-Yaqin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement