REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemahaman masyarakat yang terbatas menyebabkan pasien kanker payudara di Indonesia cenderung terdeteksi saat sudah mencapai stadium lanjut. Hal itu disampaikan Niken Palupi, Kasubdit Pengendalian Penyakit Kanker, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
“Mengetahui upaya preventif melawan kanker payudara sangat penting, karena itu kami memprioritaskan program pencegahan dan pengendalian kanker payudara yang bersifat promotif dan preventif,” ujar Niken dalam Forum Diskusi Bulan Peduli Kanker Payudara "Mari Bersama Kalahkan Kanker Payudara", di Jakarta, Kamis (20/10).
Niken menjelaskan bahwa penyakit tidak menular, termasuk kanker, menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia bahkan dunia. Secara nasional, prevalensi penyakit kanker tahun 2013 adalah 1,4 per 1.000 penduduk atau sekitar 330.000 jiwa.
Ia mengutip hasil studi ASEAN Cost in Oncology (ACTION) oleh George Institute for Global Health yang menganalisis kanker di delapan negara, termasuk Indonesia. Studi itu memperkirakan jumlah pengidap kanker di Indonesia akan terus meningkat lebih dari 60 persen pada tahun 2030 hingga mencapai angka 489.800.
Dalam cakupan itu, kanker payudara disebut Niken sebagai salah satu dari lima jenis kanker terbanyak yang ditemukan di Indonesia. Ia juga memprediksi jumlahnya akan semakin meningkat seiring dengan perubahan pola hidup penduduk.
Oleh karenanya, Niken mengingatkan para perempuan untuk waspada terhadap kanker payudara yang gejalanya bisa dideteksi sendiri dengan melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Cara lain yakni Pemeriksaan Payudara Klinis (SADANIS) bisa dilakukan dengan meminta bantuan kepada tenaga medis di layanan kesehatan setempat.
"Kemenkes RI juga mendorong kelompok pendukung pasien dan komunitas penyintas untuk menyebarkan edukasi guna menurunkan jumlah kasus kuratif dan rehabilitatif kanker payudara," kata dia.