REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seruan Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar intelijen netral patut diapresiasi. Namun netralitas intelijen bukan berarti tidak terlibat dalam pengawasan pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta 2017
"Intelijen harus terlibat aktif, mencegah potensi potensi konflik yang memanas di Pplkada Jakarta, " ujar peneliti Kajian Intelijen Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib di Jakarta (10/10).
Menurut Ridlwan, potensi konflik di pilkada Jakarta sangat tinggi. "Dalam beberapa hari terakhir isu SARA memanas, juga ada isu pencoretan lambang salib di rumah rumah warga. Ini harus diantisipasi," ujarnya.
Koordinator The Indonesia Intellligence Institute itu mengatakan Badan Intelijen Negara (BIN) dan jaringan Komunitas Intelijen Daerah harus segera mengadakan konsolidasi khusus. "Pilkada Jakarta adalah barometer politik nasional. Jangan sampai rusuh," kata dia.
Ridlwan meyakini intelijen TNI termasuk di teritorial Kodam dan Korem akan netral. Walaupun ada mantan anggota TNI yang maju yakni Agus Yudoyono. Menurut dia, pimpinan TNI sudah sangat profesional. Mereka bisa mencegah anggotanya yang tidak netral. Panglima TNI pun sudah menjamin itu.
Ridlwan menyebut masing masing kandidat mempunyai tim kampanye yang hebat. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah pejawat yang elektabilitasnya tinggi. Sementara itu Anies Baswedan dan Sandiaga Uno didukung tim sukses Prabowo yang juga menguasai metode intelijen. Apalagi, tim Agus Harimurti Yudoyono yang juga mantan mayor sekaligus dan anak dari SBY. Menurut dia, ini adalah tantangan bagi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta agar bisa menyelenggarakan pilkada Jakarta yang benar-benar jujur dan adil.