Selasa 27 Sep 2016 20:21 WIB

3.915 Pabrik Rokok Ditutup, Pemerintah Diminta Empati pada IHT

Rep: Lintar Satria/ Red: Karta Raharja Ucu
Buruh pelinting rokok di pabrik rokok Indonesia
Foto: FOREIGN POLICY
Buruh pelinting rokok di pabrik rokok Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) menutup pabrik rokok yang diketahui tidak patuh menyetor cukai hasil tembakau (CHT) ke dompet negara. Data dari DJBC menyebutkan 3.915 pabrik rokok di seluruh Indonesia ditutup pemerintah selama kurun waktu 2007-2016 setelah menjalani pengawasan administrasi maupun fisik di lapangan.

Menurut anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, tutupnya ribuan pabrik kretek lebih disebabkan kebijakan kenaikan cukai yang tiap tahun dilakukan pemerintah. Tingkat kenaikan cukai menurut Misbakhun terutama dirasakan pabrikan yang memproduksi kretek tangan (Sigaret Kretek Tangan).

"Dampaknya PHK massal terjadi di pusat-pusat industri hasil tembakau (IHT)," kata Misbakhun di Jakarta, Selasa (27/9).

Kondisi tersebut, Misbakhun meminta pemerintah berempati pada IHT. Sebabnya, IHT tengah menghadapi situasi pasar yang pelik setelah dijerat kenaikkan cukai tahun lalu sebesar 12-16 persen.

Menurut dia, kenaikan cukai rokok tahun lalu membuat berkurangnya pangsa pasar. Namun yang lebih berat lagi adalah beban industri yang harus membayar cukai di muka pada 2015 lalu.

"Saya berharap pemerintah berempati atas kondisi IHT saat ini. Dengan target kenaikan cukai rokok tahun 2017 sebesar Rp 149,8 triliun sebagaimana pada RAPBN 2017, kondisi ini berat bagi industri," ujarnya.

Misbakhun mengatakan, dalam prosentase nilai tambah ekonomi, sektor IHT hanya mendapatkan porsi 13 persen dalam struktur keseluruhan volume, dan itu terus digencet oleh Pemerintah. Sementara, Pemerintah mendapatkan porsi 56 persen. Petani 11 persen. Sisanya pedagang perantara tembakau dan jalur distribusi hasil industri.

Dengan dalih meningkatkan penerimaan Negara dari sektor cukai, Pemerintah ingin menambah porsi perolehannya terus dengan menaikkan cukai rokok tiap tahun. “Sungguh ironis, posisi IHT yang ditekan terus Pemerintah, tanpa pernah melakukan pembinaan apapun selain hanya sebagai pemungut cukai semata,” katanya.

Misbakhun mengungkapkan, di daerah pemilihannya, yakni di Kabupaten Probolinggo, terkenal tembakau paiton merupakan bahan baku rokok kretek yang dibutuhkan dalam jumlah cukup banyak karena berperan sebagai tembakau semi aromatis atau nasi. Luas areal tanam tembakau di Kabupaten Probolinggo, jika tahun lalu 'hanya' 10.744 hektar, pada 2016 naik menjadi 15.532 hektar, mengingat permintaan tembakau meningkat.

Sementara, di Kabupaten Pasuruan terdapat lebih kurang sembilan industri hasil tembakau yang memperkerjakan 15 ribuan pekerja. Kenaikan cukai, lanjut Misbakhun juga makin meningkatkan peredaran rokok ilegal.

Menurut catatan, akibat rokok ilegal kerugian negara ditaksir hingga Rp 9 triliun. sementara, menurut data pemerintah, peredaran rokok ilegal masih sangat marak. Sepanjang 2016 ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat  telah menindak sebanyak 1.300 kasus peredaran rokok ilegal.

"Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi kematian pabrik, dimulai dari golongan menengah ke bawah. Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi angka smuggling rokok," kata Misbakhun.

"Kebijakan kenaikan cukai yang proporsional dapat menjaga pertumbuhan industri dan mengontrol smuggling."

Misbakhun pun meminta pemerintah, jangan sampai regulasi yang mengatur pengendalian tembakau, termasuk pungutan cukai hasil tembakau justru berpotensi mematikan keberlangsungan sektor ekonomi tembakau di Indonesia. “Dalam konteks itulah, peran negara seperti ini harus diatur dengan regulasi yang melindungi industri hasil tembakau dan petani tembakau sehingga kemandirian ekonomi sebagaimana cita-cita pemerintahan Jokowi-JK mewujud,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement