Rabu 07 Sep 2016 16:57 WIB

Aguan Ungkap Hubungannya dengan Ketua DPRD DKI

 CEO Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan (kiri) (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
CEO Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan (kiri) (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilik Agung Sedayu Grup Sugianto Kusuma alias Aguan mengakui bahwa Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edy Marsudi adalah bekas anak buahnya.

"(Prasetyo Edy Marsudi) pernah menjadi General Manager di Bengkel (Cafe), itu 'entertainment' di SCBD (Sudirman Central Business District) di Sudirman," kata Aguan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (7/9).

Aguan menjadi saksi untuk mantan Ketua Komisi D dari fraksi Partai Gerindra Mohamad Sanusi yang didakwa menerima suap Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja terkait pembahasan RTRKSP dan melakukan pencucian uang sebesar Rp 45,28 miliar.

Uang suap itu digunakan agar Sanusi mengubah isi raperda mengenai kontribusi tambahan yang terdapat pada pasal 116 ayat (6) mengenai kewajiban pengembang yang terdiri dari (a) kewajiban, (b) kontribusi, (c) tambahan kontribusi; dan pasal 116 ayat (11) mengenai tambahan kontribusi dihitung sebesar 15 persen dari NJOP total lahan yang dapat dijual tahun tambahan kontribusi tersebut dikenakan.

Terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (Pantura) Jakarta (RTRKSP), Aguan mengaku pernah menanyai Prasetyo mengenai rencana Nilai Jual Objek Pajak akan masuk ke RTRKSP itu.

"Saya ke Pras itu pernah bertanya mengenai NJOP, saya dengar ada yang hitung-hitungan 15 persen NJOP masuk ke Perda untuk kontribusi. Saya takut ilmuwan-ilmuwan terlalu 'over' pikirannya. contohnya 1 meter bisa dinilai Rp25 juta dalam 'advertising'. Tapi apakah Rp 25 juta sudah berikut bangunan, PPN (Pajak Pertambahan Nilai), kalau dipotong ini itu tinggal berapa?" tambah Aguan.

Menurut Aguan, perhitungan harga tanah reklamasi 1 meter seharga Rp 25 juta itu tidak membedakan tanah yang masih belum didirikan bangunan (tidak matang) atau tanah yang sudah didirikan bangunan (tanah matang).

"Itu kan tanah mateng dan belum mateng beda, contoh tanah saya 300 hektare, saya cuma boleh bangun 100 hektare itu 33 persen dari luas pulau. Modal bangun 100 hektar saja sudah sudah Rp 10 juta, saya sampaikan ke pras kalau saya protes dengan fakta. Faktanya rumah saya di Pantai Indah Kapuk di pinggir lapangan golf harganya 'baru' Rp 15 juta dan tanah kosong baru Rp 5juta. Kalau semua dihitung harganya tidak sampai Rp10 juta, dan faktanya saya bicara ke Pras supaya ilmuawan jangan masukkan usulan ke gubernur dan langsung diterima saja, kalau saya protes nanti sudah percuma," jelas Aguan.

Meski protes ke Prasetyo, namun Aguan mengaku menelepon mantan Direketur Utama PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja untuk menerima usulan kontribusi tambahan 15 persen.

"Saya telepon Ariesman supaya dia terima 15 persen, tapi dia ngotot (menolak). Lalu saya katakan you terima saja, nanti tolong sampaikan ke Sanusi supaya Sanusi bisa ke teman-teman supaya raperda tidak ada dispute-nya," tambah Aguan.

Dalam perkara ini Sanusi didakwakan pasal 12 huruf a atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, didakwa menyamarkan harta kekayaan sejumlah Rp 45,28 miliar yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi selaku anggota Komisi D periode 2009-2014 dan 2014-2019 dengan dakwaan pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp 10 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement